Mohon tunggu...
Teddy
Teddy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Departemen Politik dan Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membumikan Ibu Bumi: Gerakan Ekofeminisme Wadon Wadas Menjaga Ruh Jiwa Mereka

27 Juni 2022   22:00 Diperbarui: 27 Juni 2022   22:13 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Persmaporos.com

Konflik agraria kerap menjadi isu nasional karena banyaknya peristiwa yang menampilkan tindakan represif aparat. Salah satunya yang baru terjadi pada Februari 2022 di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. 

Pengawalan pengukuran lahan yang dilakukan oleh tujuh orang petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jawa Tengah untuk pembebasan lahan proyek penambangan batu andesit tersebut berakhir ricuh (Farisa, 2022). 

Pengepungan berkedok pengawalan tersebut telah mengintimidasi sejumlah pihak, termasuk sekelompok perempuan yang menolak proyek penambangan batu andesit yang tergabung dalam Wadon Wadas (Nursalim dan Riyono, 2022). Bagi Wadon Wadas, penambangan batu andesit bukan hanya perkara sengketa kepemilikan tanah, tetapi juga merampas keberlangsungan hidup yang telah disediakan oleh Bumi Wadas. 

Wadon Wadas ini ingin memperjuangkan hak-haknya yang tidak bisa diwakilkan oleh siapapun (Widyastoto, 2021). Biasanya perempuan desa yang berprofesi sebagai petani dan tidak mengenyam pendidikan tinggi dapat mengekspresikan kritik dan melakukan perlawanan terhadap kebijakan atau strategi pembangunan yang eksploratif (Alfirdaus, 2020). 

Selain itu, adanya gerakan Wadon Wadas ini didasari karena perbedaan kepentingan antara kaum perempuan Desa Wadas dengan aparat pemerintah. Kaum perempuan berusaha mempertahankan lahan yang dimiliki seperti ladang atau perkebunan untuk tidak dijadikan lahan pertambangan batu andesit.


 Apabila penambangan di Wadas tetap dilakukan, para perempuan Wadas tidak bisa lagi membuat gula merah, membuat besek, menyadap karet, kehilangan sumber air untuk kebutuhan rumah tangga, buah kemukus yang berguna untuk obat setelah melahirkan dan lainnya (Muryanto, 2021). 

Oleh karena itu, dengan kesadaran local wisdom yang dimiliki oleh para perempuan Wadas, muncul gerakan Wadon Wadas sebagai wadah bagi perempuan untuk ikut memperjuangkan kepentingannya.

Ekofeminisme menjadi salah satu perspektif  yang berusaha menghilangkan ketidaksetaraan hierarki gender dengan cara menghargai lingkungan serta mengartikulasikan kesejajaran antara eksploitasi perempuan dan lingkungan. 

Ada kaitan yang sangat penting antara dominasi terhadap perempuan dan dominasi terhadap alam. Spretnak (1989) mengungkapkan bahwa terdapat kedekatan antara alam dan perempuan yang memungkinkan mereka lebih fasih dalam berbicara atas nama alam. 

Buckingham (2004) juga berpendapat  bahwa akibat struktur sosial dan ekonomi yang menghasilkan kerusakan lingkungan skala luas, maka kehadiran perempuan  menjadi signifikan dalam berbagi pengalaman untuk berdebat atas nama alam. 

Astuti (2012) menyebut fenomena tersebut sebagai hubungan histori kausal. Oleh karena itu, perempuan memiliki peran signifikan dalam merepresentasi perjuangan atas nama alam. 

Pada kasus Wadas, Wadon Wadas sebagai aliansi perjuangan perempuan menggunakan cara terlembaga melalui gerakan ekstra parlementer untuk mengklaim representasi atas perdebatan alam. Wadon Wadas menjadi salah satu dari tiga organisasi perlawanan masyarakat wadas yang telah didirikan, antara lain Gempa Dewa (organisasi utama) dan Kawula Muda Desa Wadas (Kamu Dewa). Mereka adalah trisula perjuangan yang saling melengkapi dan memperkuat barisan dalam memperjuangan kepentingan bersama. Seperti yang diungkapkan oleh Gaard (2001) bahwa melalui identitas dan jalan ideologis atau pengalaman yang berbeda dapat menjadi sumber kekuatan yang memperkaya solidaritas tanpa memandang perbedaan. 

Wadon terbentuk atas klaim bahwa perempuan adalah pihak yang paling terkena dampak dari kerusakan alam. Mayoritas penduduk setempat memanfaatkan kekayaan alam dan hayati wadas untuk melanjutkan kehidupan. Sumber penghasilan mereka berasal dari membuat gula aren, besek, ternak dan panen aneka tanaman produktif. Maka dari itu, warga telah hidup menyatu dan berdampingan dengan alam dari generasi ke generasi. 

Bagi perempuan, merekalah yang paling dekat dengan sumber kehidupan, seperti air dan pekerjaan menganyam bilah-bilah bambu menjadi besek sebagai  sumber ekonomi andalan warga. 

Pengetahun lokal perempuan mengatakan bahwa hancurnya alam telah berimplikasi kepada interaksi dengan "ibu bumi". Pengetahuan seperti ini yang disebut oleh Foucault sebagai kontrol terhadap episteme atau sebuah alat kekuasaan yang dibentuk dan dibatasi oleh lingkungan sekitar. 

Kekuasaan menurut Foucault seperti yang dikutip oleh Karlberg (2005) bahwa kekuasaan sebagai kekuatan relasional yang menembus seluruh tubuh sosial yang menghubungkan semua kelompok sosial dalam jaringan timbal balik. 

Dalam hal ini, pengetahuan lokal terhadap bumi Wadas telah menjadi landasan fondasional dalam barisan perjuangan dengan cara-cara terlembaga dalam aliansi.  Oleh karena itu, Strong (1995) berpendapat bahwa kunci untuk memperbaiki bumi terletak pada penghormatan terhadap hukum alam yang dipahami oleh masyarakat setempat. 

Lebih lanjut, ekofeminisme yang menitikberatkan pada perlawanan kelompok perempuan sebagai bentuk respon atas kerusakan lingkungan yang mengganggu kelangsungan hidupnya dapat turut dikategorikan sebagai gerakan ekstra-parlementer. Sebagaimana gerakan ekstra-parlementer merupakan gerakan yang dilakukan oleh kelompok di luar negara dengan tujuan untuk merubah sistem yang erat hubungannya dengan negara. 

Gerakan ini biasanya ditandai dengan keyakinan akan efektivitas militansi dan tindakan langsung oleh mereka yang tertindas terhadap para penindasnya. Secara umum, individu atau kelompok dapat menggunakan cara-cara ekstra-parlementer ketika mereka merasa bahwa perubahan kondisi tidak akan dapat tercapai melalui proses politik. 

Situasi ini mungkin timbul karena mereka tidak dilembagakan (Hogwood, 1987), misalnya ke dalam komunitas kelompok institusional yang artikulasi kepentingannya diwadahi oleh negara. 

Tidak hanya itu, kemunculan gerakan ekstra-parlementer juga dapat disebabkan oleh para pembuat kebijakan yang tidak mampu atau tidak bersedia mengabulkan perubahan kebijakan yang dituntutkan. 

Dengan demikian, penggunaan politik ekstra-parlementer dirancang untuk mengubah persepsi dan prioritas pembuat kebijakan dan sebagai upaya untuk membuat mereka memperhatikan kepentingan orang-orang dibalik gerakan ini (Hertz, 2001).

Dalam konteks konflik agraria di Wadas, kemunculan kelompok Wadon Wadas sendiri adalah bentuk perlawanan perempuan Wadas terkait rencana pembangunan bendungan yang dapat menyebabkan rusaknya sumber mata air. Wadon Wadas sendiri diinisiasi oleh Sriyana, seorang perempuan Wadas yang tertarik berjuang mempertahankan keutuhan alam di desanya. 

Awalnya hanya pria saja yang aktif berjuang, seperti menghadapi langsung pemerintah dan menggelar mujahadah, sebuah perlawanan dengan cara doa bersama di masjid atau di alas. 

Namun, seiring berjalannya waktu, muncul kesadaran kolektif dari kelompok perempuan mengenai kedekatan antara perempuan dengan alam sehingga sudah seharusnya perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan alam mereka. 

Sebagaimana mengutip Muryanto (2021) dari laman projectmultatuli.org, dengan kesadaran tersebut, Sriyana mulai mengikuti mujahadah bersama suaminya. Kini, mujahadah yang berlangsung pada malam yang ditentukan itu tidak eksklusif lagi, karena perempuan juga turut dapat mengikutinya. 

Dengan dukungan beberapa aktivis perempuan, ia mengajak ibu-ibu agar berkumpul untuk membicarakan soal perjuangan warga menjaga alam Wadas. 

Beruntung, mereka bersedia untuk mengadakan pertemuan rutin dan sepakat menamakan diri sebagai Wadon Wadas. Kini, Wadon Wadas mempunyai anggota sekira 300 orang. Usia mereka beragam, mulai mahasiswa hingga perempuan yang sudah beruban.

Klaim representasi Wadon Wadas melalui gerakan yang mereka lakukan telah mengaminkan eksistensi perempuan sebagai bagian dari alam. Hal tersebut berkaitan erat dengan kehadiran perempuan secara konseptual dan simbolik yang terkoneksi dengan hierarki ekologis. 

Astuti (2012), berpendapat bahwa perempuan dan alam memiliki kesamaan simbolis karena kerap ditindas oleh manusia bercirikan maskulin. Oleh karena itu, adanya rasa senasib semakin menguatkan legitimasi klaim representasi dari Wadon Wadas.

Salah satu bentuk gerakan atau aksi yang dilakukan oleh Wadon Wadas sebagai bentuk protes adalah membuat besek di halaman PTUN Semarang. Besek merupakan wadah dari anyaman bambu yang diinterpretasikan sebagai simbol menyatunya perempuan Wadas dengan tanah Wadas yang subur. Secara turun temurun, tradisi menganyam besek bagi perempuan Wadas menjadi identitas dan kultur dari komunitas Wadon Wadas. 

Selain itu, kegiatan menganyam besek menjadi jalan bagi Wadon Wadas untuk hidup bermasyarakat dan menjaga eksistensi dirinya. 

Dengan demikian, apabila terdapat penambangan di Desa Wadas akan mengakibatkan kehancuran identitas, relasi sosial, dan tradisi dari perempuan Wadas. Selain aksi menganyam besek, Wadon Wadas juga membagikan makanan dalam besek kecil dengan jumlah 234 besek di sekitar PTUN Semarang. Makanan ini merupakan hasil bumi Wadas yang dimasak oleh ibu-ibu Wadon Wadas. 

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk representasi bahwa tanpa adanya penambangan, masyarakat Wadas sudah sejahtera dengan menunjukkan  hasil bumi melimpah melalui makanan yang mereka masak (lbhyogyakarta.org, 2021). 

Selain itu,  Wadon Wadas kerap menggelar aksi berupa orasi, seperti yang dilakukan di Hari Perempuan Sedunia. 

Orasi tersebut bertujuan untuk menyampaikan keresahan perempuan Wadas dengan menuntut adanya penanganan, pendampingan, serta pemulihan bagi perempuan dan anak atas represi yang dilakukan oleh aparat saat terjadi pengukuran tanah (Putra, 2022). 

Oleh sebab itu,  gerakan Wadon Wadas dapat merepresentasikan kaum perempuan Wadas yang terkena dampak dari adanya kebijakan penambangan melalui berbagai aksi yang mereka upayakan.  

Konflik agraria di Wadas telah menimbulkan berbagai macam feedback dari berbagai macam elemen masyarakat yang ada di Wadas. Salah satunya adalah Wadon Wadas. Bagi Wadon Wadas, bukan hanya alam Wadas yang dirampas namun juga keberlangsungan hidup mereka. 

Perempuan-perempuan di Desa Wadas secara mayoritas dalam kesehariannya berprofesi di bidang pertanian dan perkebunan dimana konflik agraria di wadas telah mengintervensi ladang dan perkebunan yang ada disana untuk dijadikan sebuah lahan pertambangan batu andesit. 

Melalui hal tersebut dan segala keresahannya, Wadon Wadas mulai tumbuh dengan mewadahi perjuangan kaum perempuan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka.

Ditelisik melalui kacamata ekofeminisme, Wadon Wadas tumbuh sebagai sebuah gerakan kolektif yang juga dikategorisasikan sebagai gerakan ekstra-parlementer dimana Wadon Wadas terbentuk atas klaim bahwa perempuan di Wadas adalah pihak yang paling terkena dampak dari konflik agraria di Wadas karena selain mereka dekat dengan alam Wadas, 

sumber penghidupan terbesar mereka adalah melalui lahan perkebunan dan pertanian yang direnggut oleh pemerintah. 

Wadon Wadas juga dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan kaum perempuan Wadas terhadap kebijakan pemerintah seperti pembangunan tambang batu andesit, bendungan dan lain sebagainya. 

Secara tidak langsung, Wadon Wadas juga melanggengkan klaim representasi melalui gerakan yang telah mereka lakukan yang telah menempatkan perempuan sebagai bagian dari alam sekaligus menandakan kehadiran perempuan dalam hierarki ekologis. Adanya rasa senasib dari seluruh masyarakat Wadas baik pria maupun wanita, 

permasalahan agraria di Wadas telah memperkuat legitimasi klaim representasi Wadon Wadas itu sendiri dimana Wadon Wadas sendiri telah secara produktif merepresentasikan perempuan-perempuan Wadas yang terkena dampak dari kebijakan pemerintah melalui berbagai macam upaya yang mereka lakukan yang mengatasnamakan perempuan dan seluruh masyarakat Wadas. 

Referensi

Alfirdaus, L. K. (2020). Ibu rumah tangga dan petani perempuan berperan vital dalam pergerakan lingkungan Indonesia. The Conversation. Diakses dari https://theconversation.com/ibu-rumah-tangga-dan-petani-perempuan-berperan-vital-dalam-pergerakan-lingkungan-indonesia-133522 pada 25 Juni 2022.

Astuti, T. M. P. (2012). Ekofeminisme dan peran perempuan dalam lingkungan. Indonesian Journal of Conservation, 1(1).

Buckingham, S. (2004). Ecofeminism in the twentyfirst century. Geographical journal, 170(2), 146-154.

Farisa, F.C. (2022). Duduk Perkara Konflik di Desa Wadas yang Sebabkan Warga Dikepung dan Ditangkap Aparat. Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2022/02/09/18264541/duduk-perkara-konflik-di-desa-wadas-yang-sebabkan-warga-dikepung-dan?page=all pada 25 Juni 2022.

Gaard, G. (2001). Women, water, energy: An ecofeminist approach. Organization & Environment, 14(2), 157-172.

Hertz, N. (2001) The Silent Takeover: Global Capitalism and the Death of Democracy. London: Heinemann

Hogwood, B. (1987) From Crisis to Complacency? Shaping Public Policy in Britain. Oxford: Oxford University Press.

Karlberg, M. (2005). The power of discourse and the discourse of power: Pursuing peace through discourse intervention. International Journal of Peace Studies, 10(1 Spring/Summer), 1-23.

lbhyogyakarta.org. (2021). Wadon Wados: Menganyam Perlawanan! LBH Yogyakarta. Diakses dari https://lbhyogyakarta.org/2021/08/09/wadon-wados-menganyam-perlawanan/ pada 25 Juni 2022.

Muryanto, B. (2021). Wadon Wadas Menjaga Alam untuk Anak-Cucu. Project Multatuli. Diakses dari https://projectmultatuli.org/wadon-wadas-menjaga-alam-untuk-anak-cucu/ pada 25 Juni 2022. 

Nursalim, N., & Riyono, S. (2022). Analisis Perlawanan Perempuan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penambangan Batu Andesit di Desa Wadas. MIMBAR ADMINISTRASI FISIP UNTAG Semarang, 19(1), 32-49.

Putra, H. R. (2022). Aksi Wadon Wadas di Hari Perempuan Sedunia. Balairungpress. Diakses dari https://www.balairungpress.com/2022/03/aksi-wadon-wadas-di-hari-perempuan-internasional/ pada 25 Juni 2022.

Spretnak, C. (1989). Toward an ecofeminist spirituality in Plant J Healing the wounds New Society Publishers. Philadelphia, PA.

Strong, H. (1995). Ecological and Spiritual Revolution. Our Planet, 7(3), 23-25.

Widyastoto, C. (2021). Perjuangan Wadon Wadas Sebagai Potret Perjuangan Emansipasi Wanita Masa Kini. Ekspresionline.com. Diakses dari  https://ekspresionline.com/perjuangan-wadon-wadas-sebagai-potret-perjuangan-emansipasi-wanita-masa-kini/ pada 25 Juni 2022. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun