Malam itu, lampu lampu kafe terasa lebih panas dari biasanya. Raka melihat Rini, temannya sejak SMPnya, yang sibuk bermain ponsel. Wajah Rini terlihat ceria, berulang kali dia tertawa kecil melihat layar ponsel. Raka merasa lega melihat temannya senang. Namun, ada keraguan yang mengganjal di hatinya.
"Kamu beneran mau ngasih tahu dia, Rin?" tanya Raka menenggak nafas.
Rini mengangkat kepala, alisnya berkerut. "Maksudmu, tentang pekerjaan baruku?"
Raka angguk, ia minum kopi dinginnya. "Iya. Dia kan udah lama menunggu kamu. Kamu juga janji, kalau udah dapat kerja, kamu mau nikah sama dia."
Rini diam. Senyum di bibirnya pudar. "Enggak secepat itu, Rak. Aku baru aja dapat pekerjaan di perusahaan idaman aku. Aku butuh fokus. Aku butuh waktu."
"Bukannya kamu bilang dia mendukung semua mimpimu?" Raka berusaha membekaskan. "Kamu juga yang bilang, dia yang paling mengerti kamu."
"Ya, ya. Tapi dia juga memiliki harapan. Dia ingin segera menikah. Aku. aku belum"
Raka melihat Rini lekat-lekat. Ia mengenali Rini dari dalam. Dulu, Rini adalah gadis yang paling setia, paling tulus. Tapi setelah ia memulai karirnya, ada yang berubah. Rini menjadi keras hati, sulit disentuh. Ia seperti membangun tembok di sekelilingnya.
"Rin, kamu tahu kan, dia sudah banyak berkorban untuk kamu? Dia mau menunggu S2-nya, hanya untuk menemani kamu mencari kerja," ujar Raka perlahan-lahan.
"Itu pilihan dia, Rak. Aku tidak pernah meminta dia agar melakukan itu," jawab Rini dingin.
Raka menahankan napas. "Kamu sudah berubah, Rin. Kamu menjadi munafik."