Mohon tunggu...
Tax Center FIA UB
Tax Center FIA UB Mohon Tunggu... Unit Laboratorium Tax Center, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

Unit Laboratorium Tax Center, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Financial

Geger Blokir Rekening oleh PPATK: Titik Implikasi dan Manfaatnya Terhadap Perpajakan

31 Agustus 2025   11:14 Diperbarui: 31 Agustus 2025   11:14 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Rencana pemblokiran rekening oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam beberapa bulan terakhir telah menjadi sorotan publik. Kebijakan ini difokuskan pada rekening bank yang berstatus dormant atau tidak aktif selama minimal tiga bulan, serta dompet digital (e-wallet) yang terindikasi digunakan untuk aktivitas ilegal, termasuk perjudian daring (Lestari, 2025). Langkah tersebut merupakan respon terhadap maraknya penyalahgunaan rekening dormant untuk berbagai tindak kejahatan, seperti pencucian uang, peretasan, hingga perdagangan rekening secara ilegal. Data PPATK mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 140.000 rekening tidak aktif, bahkan sebagian telah terbengkalai selama lebih dari 10 tahun dengan total dana mengendap mencapai Rp 428,61 miliar (Maharani, 2025). Selain itu, transaksi e-wallet terkait perjudian daring pada periode 2023 - 2025 telah mencapai triliunan rupiah dan melibatkan sejumlah penyedia layanan dompet digital terbesar di Indonesia (Lestari, 2025).

Berdasarkan perspektif hukum, kebijakan ini dinilai strategis untuk menjaga keamanan sistem keuangan nasional dan melindungi pemilik rekening sah. Namun, dari sudut pandang fiskal, kebijakan tersebut juga memiliki implikasi terhadap perpajakan, mengingat potensi dana yang diblokir dapat berhubungan dengan kewajiban pajak yang belum dipenuhi. Oleh karena itu, fenomena geger blokir rekening ini perlu dikaji secara mendalam karena mendapat banyak kritik dari masyarakat.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

PPATK merupakan lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2022 dengan mandat utama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini resmi beroperasi sejak 2003 dan menjalankan fungsi strategis dalam menjaga integritas sistem keuangan nasional. Sifat independensi PPATK memastikan bahwa operasionalnya bebas dari intervensi kekuasaan manapun (Akashi, 2025). Mengacu pada Pasal 3 Perpres Nomor 10 Tahun 2022, tugas pokok PPATK adalah mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Selain itu, Pasal 5 peraturan yang sama memperluas mandat PPATK untuk juga memberantas tindak pidana pendanaan terorisme sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 4 Perpres Nomor 10 Tahun 2022, PPATK memiliki empat fungsi utama yaitu: (a) pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; (b) pengelolaan data serta informasi transaksi keuangan; (c) pengawasan kepatuhan pihak pelapor; dan (d) analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang mengindikasikan tindak pidana.

Dalam pelaksanaannya, PPATK berwenang meminta data dari instansi pemerintah maupun swasta, menetapkan pedoman identifikasi transaksi mencurigakan, mengoordinasikan upaya pencegahan dengan pihak terkait, memberi rekomendasi kepada pemerintah, mewakili Indonesia di forum internasional, serta melaksanakan pendidikan dan sosialisasi anti-pencucian uang (Akashi, 2025). Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 10 Tahun 2022, lembaga ini bersifat independen dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kepala dan Wakil Kepala PPATK, serta pejabat tinggi lainnya, diangkat dan diberhentikan langsung oleh Presiden. Meskipun demikian, dalam penyusunan tugas, fungsi, dan tata kerja, PPATK memerlukan persetujuan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB).

Dasar Hukum Pemblokiran Rekening oleh PPATK

Pemblokiran rekening dormant oleh PPATK didasarkan pada kerangka hukum yang jelas dan tegas. Menurut Pasal 44 ayat (1) huruf i dan Pasal 65 ayat (1) Undang Undang TPPU, PPATK dapat meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara, seluruh, atau sebagian transaksi rekening yang diketahui atau dicurigai sebagai hasil tindak pidana. Penghentian sementara transaksi termasuk dalam bentuk pemblokiran aktivitas rekening dapat dilakukan jika terdapat indikasi tindak pidana, seperti pola transaksi mencurigakan, asal dana dari pihak terkait tindak pidana, atau jumlah harta yang mencurigakan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme juga mempertegas kewenangan pemblokiran terhadap rekening yang diduga digunakan untuk tindak pidana terorisme (Nugraha, 2025)

Dalam praktiknya, PPATK menerapkan mekanisme identifikasi rekening dormant berdasarkan hasil analisis data dari lembaga keuangan. Selama beberapa tahun terakhir, PPATK telah mengevaluasi banyak rekening dormant yang berpotensi disalahgunakan, termasuk lebih dari 140.000 rekening tidak aktif. Langkah penghentian transaksi pada rekening-rekening tersebut, termasuk penonaktifan sementara, dimaksudkan untuk mendorong pihak nasabah dan bank melakukan verifikasi ulang serta pemutakhiran data, sekaligus memberikan perlindungan bagi pemilik sah dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Fenomena Pemblokiran Rekening Besar-Besaran

Pada pertengahan tahun 2025, skema pemblokiran rekening dormant yang dilakukan PPATK menarik perhatian masyarakat karena cakupannya yang sangat besar. Sejak bulan Mei, lembaga telah menyelesaikan analisis secara bertahap terhadap rekening tidak aktif yang terbagi dalam 17 gelombang verifikasi, mencakup total hingga lebih dari 100 juta akun terkait, dan memutuskan untuk membuka blokir terhadap sekitar 122 juta rekening yang dinyatakan bebas dari indikasi tindak kejahatan keuangan seperti penipuan atau judi online (Mahendra, 2025). Meski demikian, PPATK tetap menegaskan bahwa pemblokiran akan terus diterapkan terhadap rekening yang terbukti memiliki keterikatan kuat dengan aktivitas kriminal. Kebijakan yang kini diterapkan akan lebih bersifat selektif dan terfokus pada indikasi transaksi yang mencurigakan, bukan hanya pada kondisi rekening yang tidak aktif  (Mahendra, 2025). Pendekatan tersebut bertujuan untuk menjaga integritas sistem keuangan sekaligus menjamin perlindungan hak nasabah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun