Mohon tunggu...
Taufiq Rahmat H
Taufiq Rahmat H Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamat Sosial

Fokus dan Tenang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tanpa Frege, Filsafat Bahasa Tinggal Omong Kosong

8 Desember 2012   19:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:58 1677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13549947321835269648

[caption id="attachment_228392" align="aligncenter" width="408" caption="Gottlob Frege - hume.ucdavis.edu"][/caption]

Friederich Ludwig Gottlob Frege (1848-1925) adalah matematikawan dan ahli logika berkebangsaan Jerman yang juga dikenal sebagai seorang filsuf. Kontribusi Frege cukup besar di bidang filsafat analitik abad dua puluh. Ia menggunakan matematika dan logika sebagai dasar berfilsafat. Frege meyakini logika sebagai alat sekaligus pengantar dalam studi filsafat. Kebenaran matematis baginya merupakan kebenaran logis. Frege berusaha menerapkan prinsip-prinsip logika dan matematika pada filsafat bahasa. Ia menginvestigasi struktur bahasa, cara bahasa berkoneksi dengan dunia, dan mengekspresikan pikiran demi memperoleh pemahaman tentang pengetahuan yang lebih baik. Beberapa karyanya menjadi pemantik bagi perkembangan filsafat bahasa di kemudian hari. Frege meninggal di usia 77 pada 26 Juli 1925.

Pada tulisan ini, ‘sense’ and ‘referense’ diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi ‘makna’ dan ‘acuan’. Dalam artikelnya tentang makna dan acuan, Frege mulai mempertanyakan tentang identitas (identity) dan kesetaraan (equality). Frege memahami kesetaraan sebagai identitas. Pernyataan a=b dianggap memiliki makna a sama dengan b atau a dan b bersesuaian. Dalam Begriffsschrift Frege memahami kesetaraan sebagai relasi antara tanda atau nama dengan objek. Objek adalah sesuatu yang kita maksud dengan cara membahasakannya melalui ekspresi dan pernyataan yang berbeda-beda, walaupun objek itu terkadang memiliki kesamaan. Pengekspresian tersebut dapat diketahui perbedaanya melalui cara bagaimana pernyataan itu disampaikan oleh tanda-tanda (nama / name, kombinasi kata / combination of words, tulisan / letter) yang digunakan secara arbitrer. Perbedaan tanda-tanda yang digunakan dalam pernyataan berkorespondensi dengan perbedaan pada moda presentasi yang memahami atau menyebut tanda-tanda yang dimaksud. Misalnya, pada ekspresi a=a dan a=b. Jika tanda b dimaksudkan untuk menyebut hal yang sama seperti disebut oleh a, maka secara esensial nilai kognitif keduanya sama. Kemudian apa yang membuat a dapat pula disebut sebagai b? Letak perbedaanya pada moda presentasi yang mengekspresikan kedua tanda tersebut. Moda presentasi merupakan cara sesuatu diekspresikan melalui tanda. Sesuatu yang diekspresikan disebut sebagai “acuan” (reference), sedangkan moda presentasinya terletak pada “makna” (sense). Maka, setiap tanda menekspresikan makna yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat diketahui melalui moda presentasinya. Kita bisa menyebut “matahari”dengan moda presentasi yang berbeda, seperti “matahari pagi” atau “matahari sore”.

Penyebutan secara berbeda terhadap objek yang sama akan menimbulkan makna interpretasi yang juga berbeda, walaupun pada kenyataanya acuan yang dimaksud hakikatnya tetap saja sama. Tanda berkorespondensi terhadap makna tertentu, yang juga berkorespondensi terhadap acuannya. Penyebutan terhadap suatu objek merupakan penamaan yang menggambarkan suatu nama-diri (proper name) – melalui satu atau beberapa kata – dan mengacu pada objek tertentu (definite) yang sifatnya unik, namun bukan berupa konsep atau relasi. Makna yang sama sering kali diekspresikan dengan bahasa berbeda. Bahasa yang dimaksud Fege adalah bahasa alamiah atau bahasa sehari-hari. Dalam bahasa sehari-hari kita dapat menemukan suatu pernyataan atau ekspresi yang memiliki makna, namun tidak memiliki acuan. Misalnya, frasa ‘kuda terbang’ yang dapat kita tangkap maknanya sebagai suatu hewan yang identik dengan kuda namun bisa terbang. Pada kenyataanya ‘kuda terbang’ tidak ada acuannya secara real, karena di dunia konkrit kita tidak pernah menumpai kuda yang dapat terbanng. Dengan demikian, acuan bukanlah satu-satunya rujukan bagi pembentukan makna.

Frege juga membahas tentang gagasan (idea). Gagasan besifat subjektif dan senantiasa berbeda pada setiap subjek. Gagasan berbeda dengan makna dan acuan dari suatu tanda. Makna adalah apa yang ada di antara acuan (objek itu sendiri) dan gagasan subjektif yang terbesit dibenak seseorang ketika mendengar sebuah nama-diri. Makna bukan merupakan subjektivitas, dan bukan pula objek itu sendiri. Dalam fraseologi Frege disebutkan bahwa : “A proper name (word, sign, sign combination, ekspression) expresses its sense, refers to or designates its referent”. “Nama-diri (kata, tanda, kombinasi, ekspresi) mengekspresikan maknanya, acuan, atau menyebut acuannya”. Tanda digunakan untuk mengekspresikan makna dan menyebutkan acuan. Ketika kita menyebut sesuatu, kita memaknakan sesuatu itu sekaligus mengandaikan acuannya.Misalnya jika kita menyebut kata “burung”, kita tidak ingin orang hanya menangkap gagasan kita tentang “burung”, melainkan juga “burung” aktual dan real yag kita acu maknanya. Hal tersebut menjadi berbeda kalau kita hanya bermaksud memuncukan “gagasan tentang burung”, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa gagasan bersifat subjektif dan berbeda pada setiap orang.

Frege mengakui adanya perbedaan antara kata-kata, ekspresi, dan kalimat lengkap (words, expressions, or whole sentences). Letak perbedaanya adalah pada konsepsi atau maknanya, namun bukan pada acuannya. Kata-kata, ekspresi, dan kalimat lengkap yang dituturkan oleh setiap orang dapat direduksi dalam acuan yang sama, namun konsepsi dan ekspresi terhadap acuan itu bisa berbeda-beda. Setiap tindak penuturan tidak dapat dikatakan objektif. Bahasa penyair yang menggunakan metafor dalam mengekspresikan suatu maksud akan sulit dipahami oleh orang awam. Namun kata-kata penyair itu punya acuan, hanya saja acuan itu tidak dapat dikonsepsikan secara objektif oleh orang lain. Yang mngetahui konsepsi tentang bahasa penyair adalah penyair itu sendiri. Orang awam hanya dapat memahaminya dengan mencoba menginterpretasi berdasarkan acuan yang ada dari bahasa penyair tersebut.

Frege menyebutkan bahwa makna dan acuan yang terkandung dalam ekspresi, kata-kata, dan tanda dapat dipahami sebagai nama-diri (proper names). Makna terkait dengan apa yang kita pikirkan (thought) mengenai sesuatu, bukan semata-mata tentang apa yang sesungguhnya sedang menjadi acuan. Namun dalam berpikir mengenai sesuatu, kita juga mengharapkan adanya acuan bagi pemikiran kita. Ada perbedaan ontologis antara acuan dan apa yang kita pikirkan tentangnya. Acuan terkait dengan realitas yang menentukan nilai kebenaran tentang sesuatu yang kita pikirkan.

Frege memahami nilai kebenaran sebagai konstituen acuan. Hubungan antara pikiran dengan nilai kebenaran merupakan hubungan antara makna dengan acuan. Nilai kebenaran suatu kalimat adalah suatu keadaan benar atau salah dari pemikiran kita tentang sesuatu. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa nilai kebenaran selalu membicarakan tentang benar atau salah. Hubungan pikiran dengan benar (the true) bukan merupakan hubungan antara subjek dengan predikat. Benar atau salah dapat dianggap sebagai predikat yang terkandung dalam pemikiran (thought), sedangkan nilai kebenaran bukanlah properti dari pemikiran. Kalimat kompleks yang salah satu katanya diubah menjadi kata lain yang sama acuannya namun berbeda makna, akan mengalami perubahan makna. Namun perubahan makna tersebut tidak selalu diiringi dengan perubahan nilai kebenaran. Artinya, nilai kebenaran dalam suatu struktur kalimat bersifat tetap. Strukur kalimat tersebut memuat subjek dan predikat yang hanya berupa elemen dari pemikiran yang levelnya sama dalam konstitusi ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, nilai kebenaran letaknya berada di luar pemikiran. Nilai kebenaran merupakan objek, dan sama sekali berbeda dengan makna.

Frege membicarakan tentang nilai kebenaran. Nilai kebenaran adalah nilai yang berfungsi untuk mengetahui bahwa sebuah kalimat itu benar atau salah. Pada awalnya Frege menjelaskan tentang nilai kebenaran yang ada dalam suatu kalimat muncul dari referensi dari kalimat itu, tetapi kemudian dia menolak hal itu. Dengan kata lain, dia menolak nilai kebenaran sebagai referensi.

Referensi selalu dapat dicari pada suatu kalimat. Di dalam sebuah kalimat pasti ada referensi. Dari referensi ini kemudian muncul asumsi bahwa nilai kebenaran suatu kalimat adalah referensi itu sendiri. Disini, dalam memberikan nilai kebenaran pada suatu kalimat harus sudah melewati tingkat pikiran dan menuju tingkat referensi. Referensi sebuah kalimat memiliki nilai kebenaran yang benar, dan tidak berubah jika bagian kalimat itu diganti dengan ekspresi yang memiliki referensi yang sama.

Relasi pikiran kepada kebenaran tidak sama dengan relasi subjek ke predikat. Subjek dan predikat hanya menghasilkan fikiran dan tidak bisa melewati akal ke referensi atau tidak bisa melewati pikiran ke nilai kebenaran. Nilai kebenaran tidak bisa menjadi bagian dari pikiran.

Seperti yang sudah dikatakan tadi, Frege menolak semua penjelasan di atas. Menurutnya, nama atau kalimat yang tidak memiliki referensi masih sah dan masih memiliki nilai kebenaran. Hal ini terlihat dari adanya anak kalimat atau kalimat subordinat. Ahli tata bahasa melihat kalimat subordinat sebagai wakil dari bagian kalimat dan membagi mereka ke dalam klausa kata benda, klausa kata sifat, dan klausa kata keterangan. Dari sini muncul dugaan bahwa referensi dari klausa subordinat bukanlah nilai kebenaran melainkan sebagai referensi dari kata benda atau kata sifat atau kata keterangan, dengan kata lain Klausa sub ordinat bukanlah sebuah pikiran yang utuh tetapi hanya bagian dari pikiran.

Pada kasus klausa nomina, hal ini sangat berhubungan erat dengan referensi. Disini Frege menjelaskan bahwa referensi suatu nama tidak selalu merupakan nilai kebenaran dari nama itu. Misalnya pada kata “bintang timur” , ada orang yang mengatakan bahwa bintang timur adalah Venus, tapi banyak juga yang mengatakan bahwa bintang timur bukanlah Venus. Hal ini terjadi karena pada kasus itu, nama yang muncul adalah berasal dari referensi tidak langsung. Dari contoh ini terlihat bahwa seseorang berhak untuk melakukan kesimpulan terhadap suatu nama.

Dari sini Frege juga memberikan argument mengenai keyakinan, di dalam kesimpulan yang dibuat seseorang terdapat sebuah keyakinan atau kepercayaan yang merupakan dasar dari perasaan. Misalnya, dalam kalimat, “kesimpulan Columbus dari perjalanannya mengelilingi bumi adalah bahwa ia bisa mencapai India dengan melakukan perjalanan ke arah Barat” (Frege, 1948 : 220), muncul dua keyakinan bahwa bumi itu bulat dan dengan melakukan perjalan ke barat maka Columbus bisa mencapai India. Yang penting dalam hal ini adalah tentang informasi dari keyakinan tadi, sedangkan yang tidak penting adalah dengan kita mengganti kata bumi dengan kata planet yang memiliki satelit yang lebih besar ukurannya dari seperempat ukuran bumi. Dari contoh-contoh tadi, Frege meyakini bahwa nama tidak harus mempunyai referensi ataupun memiliki referensi tidak langsung tapi harus mempunyai sense.

Pada kasus klausa adverbial, klausa yang tidak memiliki referensi tapi hanya sense. Seperti perintah, permintaan, dll, hal ini memang bukan sebuah fikiran namun hal ini berdiri di atas tingkat yang sama dengan pikiran.Kata-kata itu memiliki referensi tidak langsung, referensi yang bukan nilai kebenaran tetapi sebuah perintah, sebuah pertanyaan, dll.

Frege mengatakan bahwa ada ketidaksempurnaan dalam bahasa. Hal ini terlihat dalam bahasa simbolis matematika, Frege mengatakan bahwa bahasa simbolis matematika itu sebenarnya tidak bebas sama sekali, bahkan ada kombinasi symbol yang terlihat untuk menunjukkan sesuatu yang tidak memiliki referensi, yang menghasilkan ekspresi yang ambigu, misalnya rangkaian perbedaan tak terbatas. Contoh lain, pada kalimat “dia menemukan bentuk elips dari orbit planet mati dalam penderitaan (Frege, 1942; 221)” , dari sini ada suatu ambiguitas dalam kata “dia”. “dia” tidak memiliki arti independen, dia bereferensi pada Kepler, tapi ini bukan nilai kebenaran, karena tentu banyak orang yang menolak bahwa “dia” bukan Kepler. Ada ekspresi yang gagal dalam bahasa untuk menunjuk suatu objek.

Mengenai kalimat keadaan (conditional clauses) Frege membongkar bahwa dalam membentuk suatu kalimat tersebut dapat tercipta penggunaan tense yang menunjukkan rasa ke-kini-an akan tetapi tidak menggambarkan ke-kini-an yang jelas, secara temporal. Dalam kalimat keadaan, terbagi dalam dua klausa di mana salah satunya akan menggunakan tense ke-kini-an tersebut adalah untuk direlasikan dengan klausa lainnya. Pada tahap ini Frege menyatakan bahwa klausa dalam kalimat (majemuk) keadaan adalah untuk terkait satu sama lain. Apabila salah satunya, kalimat pendahulu, pemberi keadaannya, dilepaskan maka kesan yang muncul dalam kalimat akan berubah. Mengambil contoh Frege:

When the sun is in the tropic of cancer, the longest day in northern hemisphere occurs.

Klausa pertama menunjukkan kondisi, menggambarkan sebuah keadaan dalam waktu tertentu. Ketika klausa tersebut dilepaskan menjadi, “The sun is in the tropic of cancer,” maka temporalitas akan keberadaan matahari (sun) menjadi lebih jelas akan tetapi kesan dari kalimat menjadi berubah—bukan lagi kalimat keadaan/conditional.

Dalam keterkaitannya dengan nilai kebenaran, kalimat keadaan dapat menjadi beragam kembali bergantung pada mana kalimat tersebut merujuk. Contoh di atas dalam membahas temporalitas dalam klausa keadaannya, dalam bentuk lain klausa keadaan dapat terbentuk oleh bentuk kata lain yang dalam tata bahasa dikenal sebagai kata adjektiva, adverbia, termasuk pula ketika yang dibicarakan adalah subjek yang jelas (contoh Frege mengenai Napoleon). Bentuk kalimat keadaan dalam contoh Napoleon oleh Frege tersebut pun cukup berbeda karena mengandung dua pesan/pikiran/makna akan tetapi bila mengacu pada kesepakatan sebelumnya maka keduanya tersebut tetaplah berkaitan dan mengkondisikan atau salah satu klausa mengkondisikan sebagaimana hari menjadi lebih panjang ketika matahari berada dalam posisi yang disebutkan dalam contoh kalimat di atas.

Contoh terakhir yang diberikan Frege menggambarkan ketika berbeda dari dua contoh sebelumnya adalah ketika ruang dan waktu dalam konteks kalimatnya dapat dijelaskan dengan pasti. Kemudian kebenarannya pun termasuk dalam satu klausa pembentuk. Contoh yang diberikan Frege:

If the sun has already risen, the sky is very cloudy.

Dengan mengasumsikan konteks ruang dan waktu dalam kalimat tersebut adalah jelas, maka sesungguhnya klausa kedua dapat benar terlepas bagaimana klausa keadaan terpenuhi atau tidak.

Dalam membicarakan relasi antar klausa dalam sebuah kalimat majemuk, Frege membawa menuju kesimpulan dengan mengulas mengenai bagaimana klausa pendukung (subordinate clause) dalam suatu kalimat. Frege memberatkan bagaimana kesan yang muncul dalam klausa tersebut yang ketika diutarakan dapat atau selalu terpaut dengan hal lain, dalam kasus ini sebutlah dengan klausa pendahulunya. Akan tetapi dari contoh yang dijabarkan Frege terlihat bagaimana kesan tersebut dapat beragam. Keberagaman tersebut pun bergantung pada bagaimana klausa pendukung atau klausa pendahulunya tergambarkan dalam kalimat. Mengacu pada awal tulisan mengenai apabila a=b maka a dan b adalah merujuk pada satu hal yang tetapi adalah kesan/sense yang berbeda. Dalam kalimat majemuk, suatu kalimat yang adalah keterpautan dua klausa dapat memunculkan makna yang beragam pula.

Frege menarik kesimpulan, mengenai bagaimana posisi sebuah klausa pendukung dan bagaimana klausa komponen suatu kalimat majemuk dapat berubah dan untuk menghindari perubahan nilai atau makna/kesan keseluruhan kalimat. Kesimpulan yang Frege tarik di penghujung tulisan mengarah pada alasan mengapa klausa pendukung tidak selalu bisa diubah dengan klausa yang nilai kebenarannya sama tanpa mengubah kebenaran dari keutuhan kalimatnya. Alasan yang diberikan Frege:

1. Ketika klausa pendukung tidak merujuk pada kebenaran (sama sekali), atau hanya sebagian saja.

2.Ketika klausa pendukung merujuk pada nilai kebenaran namun tidak terikat padanya, tetap relasi ada dengan klausa lainnya.

Dalam alasan pertama yang diberikan Frege dapat dijelaskan kasus pada kalimat langit dan matahari terbit sebelumnya. Sementara dalam contoh lainnya seperti kalimat Napoleon yang diberikan Frege, di mana kalimat yang dicontohkan:

Napoleon, who recognized the danger to his right flank, himself led his guards against the enemy position.

Menyampaikan dua makna yang dapat secara sebagian dapat berdiri masing-masing:

1.Napoleon recognized the danger to his right flank.

2.Napoleon himself led his guards against the enemy position.

Yang apabila kalimat utuhnya sebagai kalimat keadaan maka akan muncul relasi sebab-akibat (bahwa alasan Napoleon bersiaga adalah karena Ia menyadari bahaya), ketika klausa pertama diganti menjadi klausa lain yang meski memiliki nilai kebenaran yang sama (mengabaikan kebenaran pastinya) dapat merubah relasi sebab-akibat yang muncul dari kalimat utuhnya. Frege mencontohkan bila klausa tersebut diganti dengan, “Napoleon was already more than 45 years old.” Apabila usia Napoleon tidak relevan dengan keputusannya untuk bersiaga maka makna ketiga (makna sebab-akibat) yang sebelumnya ada pun berubah. Contoh ini adalah penegasan Frege mengapa suatu klausa tidak dapat diubah dengan klausa lain walau sama-sama “benar”.

Contoh yang lebih kompleks dalam kalimat lain yang dicontohkan Frege:

Bebel mistakenly supposes that the return of Alsace-Lorraine would appease France’s desire for revenge.

Apabila diurai, kalimat di atas menunjukkan ketika dua hal yang sama-sama dirujuk dalam dua klausanya merujuknya pada dua kondisi berbeda. Ketika yang satu menjadi suatu kepastian dan satu lagi adalah kondisi. Ini mengarah pada simpulan Frege pada alasan ketika klausa hanya merujuk sesuatu dengan tidak utuh, atau tidak langsung, dan dilihat dalam kalimat utuhnya adalah sebuah keterkaitan antara dua hal yang terujuk dalam dua klausanya.

-o0o-

Daftar Pustaka

Frege, Gottlob. 2004. “On Sense and Reference”. Cornell University: JSTOR (e-book)

Nugroho, P. 2010. “Makna dan Acuan Menurut Pemikiran Gottlob Frege” – Jurnal Filsafat (Filsafat Bahasa). Jakarta: STF Driyakara

Sunaryo. 2010. “Kebermaknaan Bahasa yang Tidak Memiliki Reference” – Jurnal Filsafat (Filsafat Bahasa). Jakarta: STF Driyakara

Permana, A. 2011. “Logisisme Frege Sebagai Epistemologi: Mungkinkah?” – Jurnal Filsafat (Filsafat Analitik). Jakarta: STF Driyakara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun