Mohon tunggu...
TauRa
TauRa Mohon Tunggu... Konsultan - Rabbani Motivator, Penulis Buku Motivasi The New You dan GITA (God Is The Answer), Pembicara Publik

Rabbani Motivator, Leadership and Sales Expert and Motivational Public Speaker. Instagram : @taura_man Twitter : Taufik_rachman Youtube : RUBI (Ruang Belajar dan Inspirasi) email : taura_man2000@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ini 3 Tingkatan Orang Bahagia dalam Berbagi

4 Desember 2020   10:30 Diperbarui: 4 Desember 2020   12:25 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pahami 3 tingkatan orang bahagia dalam berbagi (correcto.id)

"Memberi selalu lebih baik dari menerima" (TauRa)

Adalah benar kalau memberi selalu lebih baik dari menerima. Dan tidak bisa dimungkiri kalau berbagi seringkali (rasanya) membuat orang menjadi lebih bahagia. Berbagi dalam hal apa saja dan berbagi dalam artian yang seluas-luasnya.

Tetapi benarkah demikian? atau apakah Anda pernah merasakah atau pernah tahu ada orang yang memberi sesuatu, lalu dia masih saja merasa tidak bahagia? Atau misalnya ada orang yang menyantuni fakir miskin, tetapi tetap saja merasa tidak bahagia di dalam hatinya, lalu pertanyaan kita tentu saja adalah, Apakah ada yang salah dengan caranya berbagi? atau ada yang salah dengan pribadi orang yang berbagi itu?

Kali ini kita akan coba lihat lebih jauh, mengapa ada orang yang berbagi tetapi masih belum juga merasakan bahagia di dalam hatinya? Mari kita lihat 3 tingkatan orang bahagia dalam berbagi, yang semoga bisa menjadi jawaban mengapa ada orang yang sudah berbagi, tetapi belum juga merasakan bahagia di hatinya.

Hal ini tentu saja untuk introspeksi diri kita masing-masing. Apakah kita sudah bahagia dengan apa yang sudah kita beri? atau jangan-jangan kita juga menjadi pribadi yang tidak merasakan bahagia di dalam hati padahal kita sudah memberi? Mari kita cermati bersama 3 tingkatan orang bahagia dalam Memberi.

1. Memberi Dengan Mengharap "Imbalan"

Mengharap imbalan dalam memberi itu pada dasarnya harus dilakukan, jika kita mengharapnya pahala dan "imbalan" hanya kepada Allah, sang Pencipta. 

Tetapi ketika kita memberi, lalu mengharap imbalan dan turunannya dari orang lain, maka pada saat ini kita berpotensi kehilangan kebahagian dalam memberi. Memberinya baik, tetapi mengharapkan imbalan dan pujiannya tidak baik. 

Dengan mengharap pujian dan imbalan ini, kita tidak hanya berpotensi kehilangan aspek spiritualitas dari apa yang kita beri (pahala), tetapi kita juga sangat berpotensi kehilangan kebahagiaan dalam memberi.

Itulah salah satu alasan kenapa banyak "calon pejabat" yang meminta kembali barang pemberiannya (seperti yang sering kita lihat di media sosial) ketika namanya tidak menang dalam sebuah pemilihan tertentu.

Memberi jenis ini tidak hanya kehilangan kebahagiaan, tetapi justru akan menambah kesengsaraan di dalam hatinya. Hati dan pikirannya selalu was-was. Sering muncul pertanyaan di kepalanya, "Bagaimana kalau pemberianku tidak di balas, bagaimana kalau setelah memberi ini, aku malah kalah. Atau apakah setelah memberi ini aku bisa meningkatkan popularitasku?" dan lain sebagainya.

Singkatnya, orang yang gemar memberi dengan mengharapkan "sesuatu" di balik pemberiannya tidak akan membawa kebahagiaan, justru sebaliknya.

2. Memberi Tidak Mengharap Imbalan, Hanya (Minimal) Ucapan Terima Kasih

Seorang teman bercerita kalau dia agak kecewa karena setelah memberikan (beberapa) paket sembako ke sebuah tempat, dia sama sekali tidak mendapat apa-apa, bahkan ucapan terima kasih sekalipun. Padahal sejujurnya dia tidak mengharapkan apa-apa, hanya ucapan terima kasih saja, imbuhnya.

Dia merasa "agak menyesal" dengan memberikan paket sembako ke tempat itu. Lain kali dia bertekad tidak akan lagi memberi ke lokasi itu jika diberikan kemudahan rezeki.

Saya tersenyum mendengar ceritanya itu. Ketika diminta pendapat, saya mengatakan,

"Buat apa kau menggantungkan bahagiamu setelah memberi dengan mengharap ucapan terima kasih orang lain..? Bukankah guru kita selalu mengatakan tentang filosofi "membuang sampah" dalam memberi?" 

Ya, guru kami dulu sering menyampaikan ilustrasi memberi seperti membuang sampah. Apakah kita akan melihat kembali "isi sampah" yang sudah kita buang? tidak. Apakah kita mengharapkan sesuatu dari tempat sampah dimana kita membuang sampah itu? tidak. Kalaupun ada, mungkin harapan kita adalah semoga sampah itu segera di buang dan di daur ulang dan dimanfaatkan untuk suatu hal yang lain.

Seringkali banyak orang terlihat "kesal" ketika ada orang yang diberi tidak mengucapkan "terima kasih" setelah diberikan sesuatu. Padahal sebenarnya, ketika kita mengharapkan ucapan itu, maka sesungguhnya kita sudah mengharapkan sesuatu, dan pada saat itu kita berpotensi kehilangan bahagia dalam memberi.

Jadi, mari kita berhati-hati dan sadar, jangan sampai apa yang sudah kita beri kehilangan kebaikannya hanya gara-gara kita gusar karena tidak mendapatkan ucapan terima kasih dari orang yang sudah kita beri.

Kalau ini terjadi, persis seperti teman saya tadi, maka dia sudah mulai "kehilangan" rasa bahagianya setelah memberi sesuatu kepada orang lain.

3. Memberi Saja (Bahkan Tidak Mengharap Ucapan Terima kasih sekalipun)

"Hanya memberi, tak harap kembali, Bagai sang surya, menyinari dunia"

Bagian dari lagu tentang kasih ibu ini mungkin memberi gambaran besar tentang bagaimana konsep memberi yang membawa kita ke bahagia yang hakiki. Ya, memberi yang tak harap kembali. Memberi yang bahkan tidak mengharapkan ucapan terima kasih sekalipun, itu adalah ilmu pemberian tertinggi yang harus kita sadari.

Ini adalah memberi dengan level ikhlas. Memberi dengan level ini akan menjadikan kita pribadi yang bahagia, tidak hanya di dunia, tetapi sampai di akhirat kelak.

Coba amati ibu kita. Apakah beliau gelisah ketika memberi kita makan dulu? ini Ikhlas. Apakah beliau mengharapkan ucapan terima kasih ketika memandikan kita dulu? ini ikhlas. Apakah beliau meminta bayaran dari mencuci baju kita ketika kecil dulu? ini ikhlas. Apakah ibu pernah mengatakan kalau dia ikhlas? tidak. Ini lah ikhlas.

Seorang Filsuf Arab yang bernama As-Susiy pernah menjelaskan definisi sederhana tentang ikhlas,

"Ikhlas itu tidak untuk dikatakan bahkan tidak untuk sekadar diucapkan kata "ikhlas" nya"  

Berapa kali kita sudah mengucapkan kata ikhlas dalam hidup kita khususnya setelah memberi sesuatu? Bisa jadi kita belum ikhlas. Karena ikhlas tidak untuk diucapkan, bahkan tidak untuk sekadar disebut katanya.

Luar biasa dalam makna dari ungkapan di atas ini. Mungkin inilah "tafsirannya" tentang salah satu surat di Al-quran yang bernama Surah Al-Ikhlas, yang tidak ada kata ikhlas di dalamnya.

***

Pertanyaannya kemudian adalah, sudah ada di level manakah kita? Kalau belum di level 3, maka mungkin ini adalah jawaban mengapa kita belum merasakan bahagia yang paripurna bahkan meskipun kita sudah berbagi banyak hal kepada banyak orang.

Tetapi jika kita sudah mencapai level 3, maka jangan keget, kalau perasaan di dalam hati kita begitu damai,tenang dan bahagia, bahkan jika kita hanya mampu memberikan minuman gelas untuk mereka yang sedang kehausan.

Semoga bermanfaat

Salam

Be The New You

TauRa

Rabbani Motivator

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun