Mohon tunggu...
Taumy Alif Firman
Taumy Alif Firman Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger sekaligus travel enthusiast.

Saat ini suka menulis tentang lifestyle dan destinasi wisata. Aktif dalam penulisan cerpen dan sedang mendalami penulisan skenario film berdasarkan kearifan lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Asa Anak Pesisir Tambu

2 Maret 2019   22:45 Diperbarui: 2 Maret 2019   23:41 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ah...Untung lah" ungkap ku seraya bersyukur kepadanya.

Obrolan masalah ujian hari ini menyertai perjalanan pulang. Dari kebun warga, kini berganti menjadi jalan berkerikil. Debu-debu jalanan beterbangan dan menempel di sepatu hitamku. Sekarang di kiri jalan, sawah membentang sepanjang 4 kilometer hijaunya benar-benar menyegarkan mata ditengah terik siang bolong. Di akhir pematang sawah, pemandangan berganti menjadi kawasan tambak dan hutan mangrove. Jalanan ini lah yang menjadi saksi perjuangan kami berdua.

Jika dahulu di sekolah dasar, setidaknya ada enam orang setiap hari melintasi jalan ini. Tetapi, selepas lulus dari kelas 6, tinggal aku dan La-Tang yang melanjutkan sekolah di tingkat pertama. Ini dikarenakan hampir seluruh keluarga di Pantai Tambu terpatri turun-temurun akan budaya, "tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk mencari uang, cukup bisa berhitung dan membaca maka sekolah sudah tidak ada lagi gunanya apalagi biaya sekolah mahal". Alasan ini selalu menghantui pikiranku dan La-Tang.

Sebulan setelah ujian, tibalah hari pengumuman. Semua orang tua diundang untuk menyaksikan pengumuman kelulusan anaknya. Ayah kali ini menemani. Di Aula sekolah, rangkaian demi rangkaian acara kelulusan dimulai, para orang tua duduk di sisi kiri aula sedangkan murid disisi kanan aula. Satu per satu nama kami dipanggil berdua puluh. Kami semua maju kedepan berdasarkan urutan dan menerima amplop dari Kepala Sekolah. Nasib kami ditentukan dengan tulisan dalam amplop. Hampir serempak kami membukanya. Di dalam amplop tertulis, nomor induk siswa dan namaku serta terpampang dengan jelas tulisan "Lulus". Aku bersyukur sambil menoleh kearah Ayah dan memperlihatkan kertas tersebut. Di baris belakang, La-Tang pun menunjukkan tulisan lulus pula.

Acara terakhir adalah pidato penutup perwakilan sekolah. Isinya tentang gambaran kehidupan salah satu orang tua siswa yang kesehariannya hidup di pesisir sebagai nelayan dan menyekolahkan anaknya di sekolah terpencil ini. Berjuang dilaut dengan ombak tinggi dan angin begitu dahsyat tetapi akhirnya berbuah manis. Anak beliau berhasil menjadi pemegang nilai peringkat 3 tertinggi untuk mata pelajaran IPA se-kabupaten Donggala, sebuah prestasi membanggakan dari sekolah yang baru meluluskan dua angkatan. Pidato berlanjut, dengan suara lantang perwakilan sekolah mengucapkan "Anak itu adalah Altaf, dari kampung nelayan, Pantai Tambu".

Rasa haru pun tiba-tiba melanda diselingi tepuk tangan seisi aula sekolah. Kami semua saling berpelukan, ini adalah prestasi terbaik angkatan kami di sekolah terpencil yang baru meluluskan dua angkatan dan dari sudut kiri aula, ayah pun terlihat bangga.

Setelah dua minggu pengumuman, dikala semua keluarga berada di ruang tengah rumah panggung. Ayah dan kakek lagi mengecek kondisi pukat, memastikan bagian putus bisa segera disambung kembali menggunakan nilon dan alat jahit pukat. Sedangkan ibu dan nenek mempersiapkan makan siang di lantai berpapan. Aku memberanikan diri membuka percakapan.

"Ayah, boleh kah saya lanjut sekolah di provinsi?" dengan nada penuh santun.

Dari sudut rumah, ayah melepaskan pukat dan tali nilon. Begitupun juga kakek. Sepuluh detik berlalu, tidak ada jawaban keluar dari mulut ayah. Ruang tengah tiba-tiba menjadi hening. Dua puluh detik berlalu, masih sama ruangan pun masih tetap hening.

"Tidak perlu sekolah lagi. Sekarang, Altaf sudah bisa membaca dan menghitung. Dengan kemampuan itu, Altaf sudah bisa jadi nelayan hebat dan menghasilkan uang. Jadi apalagi yang dicari untuk lanjut sekolah? Di provinsi lagi" jawaban ayah sekaligus langsung menghempaskan semua mimpi untuk bisa lanjut sekolah. Jawaban ini pun sama seperti yang dialami La-Tang 3 hari lalu bahkan jauh lebih mengerikan karena orang tua La-Tang sudah tidak mampu membiayai sekolahnya. Apalagi untuk melanjutkan ke SMA yang posisi terdekat berada di kecamatan.

"Eh...Kau, Nuddin..." teriak kakek memanggil ayah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun