Kisah perjalanan Commuter Line Jabodetabek (KRL) yang sangat sangat langka sekali, ada seseorang perempuan muda yang sedang asyik merajut benang hijau.Â
Dalam balutan rutinitas pagi yang serba cepat, KRL Commuter Line adalah mikrokosmos dari kehidupan modern yang tak pernah berhenti. Setiap harinya, gerbong-gerbong kereta dipenuhi ribuan manusia yang berjibaku dengan waktu, terhanyut dalam layar gawai, atau sekadar memejamkan mata, berharap sedikit jeda dari hiruk pikuk kota. Namun, di tengah orkestra kesibukan ini, terkadang muncul fenomena yang berbeda, sebuah anomali yang menawarkan perspektif lama tetapi muncul menjadi sesuatu yang baru tentang bagaimana memilih untuk mengisi waktu luang disela-sela perjalanan.
Sekitar pukul 09.30 tepatnya tanggal 21 Mei 2025 perjalanan dari Depok menuju jantung Jakarta Kota, saya menemukan oase yang tak terduga: seorang perempuan merajut di dalam KRL.
Bagi mata yang terbiasa dengan pemandangan digital, ini menjadi sebuah kejutan yang langka dan memukau. Di bangku depanku, duduk seorang perempuan masih muda, sangat tenang dengan benang hijau lembut diayunkan melingkar di jari-jarinya, dan menari lincah. Setiap gerakan adalah presisi, setiap tusukan benang adalah bentuk kesabaran yang nyaris terlupakan di era serba instan ini. Bukan ponsel, bukan laptop, melainkan serat benang yang perlahan membentuk pola, seolah menenun ketenangan di tengah riuhnya obrolan dan notifikasi.
Fenomena ini terasa begitu kontras dengan lanskap umum di KRL. Di sini, waktu adalah komoditas berharga yang kerap dihabiskan untuk efisiensi membalas email, membaca berita daring, atau mempersiapkan presentasi. Merajut, sebuah aktivitas yang menuntut fokus, ketelitian, dan sentuhan fisik, seolah berasal dari dimensi lain, sebuah relik dari masa lalu yang entah bagaimana terdampar di masa kini.Â
Perempuan itu, dengan wajah yang memancarkan ketenangan, tak terusik oleh tatapan atau bisikan. Ia seperti menciptakan gelembung waktunya sendiri, di mana setiap rajutan seakan-akan meditasi, setiap simpul adalah bentuk ekspresi.
Pemandangan ini mengajak kita untuk merenung: di tengah desakan modernitas yang mengagungkan kecepatan dan konektivitas digital, masih adakah ruang untuk aktivitas yang pelan, yang melibatkan sentuhan tangan, yang mengundang kesabaran? Perempuan perajut itu adalah pengingat bahwa keindahan sejati seringkali ditemukan dalam kesederhanaan dan ketelitian. Ia bukan sekadar merajut benang; ia merajut sebuah pesan, bahwa di antara hiruk-pikuk kehidupan, kita bisa menemukan ketenangan, bahkan menciptakan keindahan, dengan cara yang paling fundamental.
Ketika kereta mulai melambat di stasiun berikutnya, perempuan itu merapikan rajutannya, kini tampak seperti bagian dari sebuah syal.Â
Kisah tentang perempuan perajut di KRL ini bukan sekadar anekdot unik. Ia adalah cerminan dari sebuah kemungkinan: bahwa di antara monotonnya rutinitas, kita bisa menemukan keajaiban kecil. Bahwa di tengah dominasi digital, masih ada keindahan dalam sentuhan manusia. Dan bahwa, terkadang, oase ketenangan bisa muncul di tempat yang paling tak terduga sekalipun, bahkan di gerbong KRL yang pad
at di pagi hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI