Jadi, kita nggak cuma ngomongin keracunan akut karena koki lupa nyuci sayur. Kita sedang membicarakan kegagalan sistemik yang berpotensi merusak masa depan anak-anak ini secara permanen. Ibaratnya, program MBG bukannya memberi vitamin A, malah memberi vitamin Z (zat zialan).
Stop Pesan Catering Masal, Bikin Dapur Sendiri
Lantas, harus gimana? Pemerintah nggak bisa cuma bilang "evaluasi" dan pecat satu-dua orang. Yang harus dievaluasi adalah mindset dan rantai suplai MBG secara keseluruhan.
Kita butuh solusi yang efektif dan nggak mainstream seperti konsep catering raksasa yang rentan basi di jalan.
Desentralisasi dengan Dapur Satelit Sekolah
Stop bergantung pada satu SPPG besar yang menyuplai puluhan sekolah di kota berbeda. Itu sih resep cepat basi. Solusi yang paling waras adalah desentralisasi. Setiap gugus sekolah (sekitar 3 sampai 5 SD/SMP yang berdekatan) harus wajib memiliki Dapur Satelit Komunal sendiri.
Dapur ini nggak perlu mewah. Cukup dikelola oleh ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) atau koperasi lokal yang wajib disertifikasi oleh Puskesmas setempat. Keuntungannya jelas banget: waktu memasak dan distribusi jadi pendek (nggak lebih dari 2 jam), pengawasan sanitasi oleh Puskesmas jadi gampang (tinggal jalan kaki), dan yang paling penting, kita memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar, sekaligus menumbuhkan rasa kepemilikan. Ibu-ibu lokal pasti nggak akan tega menyajikan sayur berlendir untuk anak tetangga mereka sendiri.
Patuhi Aturan Bahan Makanan yang Aman dan Sehat
Lupakan ngotot menggunakan ikan-ikan predator mahal yang keren tapi beracun. Program MBG harus menetapkan White-List (Daftar Putih) bahan baku yang zero-risk untuk anak-anak, berfokus pada ikan lokal yang rendah Merkuri. Prioritaskan ikan perairan tawar seperti lele, nila, mujair, patin, atau ikan laut kecil yang ekonomis dan cepat bereproduksi seperti teri, kembung, dan sarden. Ikan-ikan ini terbukti aman, kaya gizi, dan harganya terjangkau.
Ikan hiu dan ikan sejenis wajib masuk blacklist permanen. Ini nggak bisa ditawar lagi. Anggapan bahwa hiu itu sumber gizi harus dikubur dalam-dalam; realitasnya, ia adalah sumber masalah.
Hal ini harus berlaku juga untuk bahan makanan lainnya untuk program MBG ini.
Digitalisasi Berupa Feedback Loop Gizi Real-Time
Evaluasi manual itu lambat dan rawan manipulasi. Kita hidup di era digital, kok masih pakai sistem kuno? MBG harus diiringi dengan sistem Kartu Rapor Gizi Digital (KRGD).
Setiap sekolah wajib mencatat real-time menu yang disajikan dan tingkat konsumsi siswa (habis, sisa setengah, atau nggak disentuh sama sekali) menggunakan aplikasi smartphone sederhana. Jika ada menu yang secara konsisten nggak disentuh massal di berbagai sekolah, sistem otomatis menghapusnya. Jika ada laporan keracunan atau mual, sistem langsung mengirim alert ke Dinas Kesehatan. Ini membuat pengawasan nggak lagi reaktif, tapi prediktif. Kita nggak perlu menunggu 25 anak masuk rumah sakit untuk tahu ada masalah di dapur.
Kalau Nggak Mau Anak-Anak Trauma, Stop Jadi Pemerintah yang Sok Tau
Keracunan di Ketapang harus menjadi titik balik, bukan hanya sekadar catatan kaki di buku laporan. Orang tua murid kini trauma, banyak yang memilih membawakan bekal sendiri. Itu artinya, kepercayaan publik terhadap program ini sudah anjlok.