Mengacu pada laporan yang diterbitkan Rmoljatim.id, kurangnya literasi bisa dianggap sebagai pelanggaran tata kelola pemerintahan. Ketika pejabat tidak memahami peraturan dan perundang-undangan dengan baik, mereka bisa saja membuat keputusan yang tidak berdasar. Akibatnya, kebijakan yang seharusnya membawa solusi justru menimbulkan masalah baru di masyarakat.
Kebijakan yang lahir dari ketidaktahuan ini adalah cermin dari kepemimpinan yang tidak mau repot. Mereka mengambil jalan pintas, mengikuti tren, atau sekadar membuat kebijakan yang populer tanpa mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh. Ini bukan hanya merugikan rakyat, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintahan.
Pembeda Antara Pejabat Cerdas dan Pejabat Empatik Adalah Buku
Berapa kali kita melihat pejabat memamerkan kunjungan ke daerah terdampak bencana di media sosial, atau berfoto dengan masyarakat kecil untuk kampanye? Sering. Tapi, apakah hal itu benar-benar mencerminkan empati, atau hanya pencitraan? Di sini, buku berperan sebagai pembeda.
Empati yang sejati, yang dapat diandalkan dalam pembuatan kebijakan, tidak hanya lahir dari interaksi sesaat. Empati itu dibangun dari pemahaman yang mendalam tentang latar belakang, sejarah, dan perjuangan masyarakat. Buku-buku fiksi, sejarah, atau studi sosial membantu seorang pejabat untuk "berjalan di sepatu orang lain" tanpa harus berada di sana secara fisik.
Dilansir dari artikel di APS Academy, empati merupakan kunci agar pelayan publik dapat benar-benar memahami realitas hidup masyarakat. Dengan empati, seorang pejabat akan merancang kebijakan yang mempertimbangkan kesulitan dan keadaan nyata masyarakat.
Misalnya, mereka akan mempertanyakan apakah aturan birokrasi yang dibuat terlalu rumit bagi warga desa yang sulit mengakses internet, atau apakah program bantuan yang diluncurkan benar-benar sampai kepada yang berhak.
Baca juga:Â Fakta Lapangan Tentang Data Bansos Kita yang Penuh Tanda Tanya
Dengan membaca, pejabat belajar bahwa rakyat bukanlah sekadar statistik, melainkan kumpulan manusia dengan cerita, harapan, dan penderitaan mereka sendiri. Ini yang akan mendorong mereka untuk membuat kebijakan yang bukan hanya efisien, tetapi juga adil dan manusiawi.
Mencari Jalan Keluar dari Ganjalan 'Darurat Baca Pejabat'
Mengingat betapa vitalnya masalah ini, kita tidak bisa hanya berdiam diri dan berharap para pejabat tiba-tiba tertarik membaca. Mengajak mereka untuk membaca adalah satu hal, tapi mengubah kebiasaan adalah hal yang lain. Dibutuhkan sistem yang mendorong mereka untuk melakukannya, bukan sekadar imbauan yang sejuk di telinga.
Oleh karena itu, saya punya beberapa ide yang mungkin terdengar nyeleneh, bahkan sedikit gila. Pertama, "Tantangan Baca Pejabat" tahunan. Setiap kementerian atau lembaga diwajibkan untuk berpartisipasi. Mereka harus memilih tiga buku per tahun yang relevan dengan tugasnya, membacanya, dan mempresentasikan poin-poin pentingnya di forum internal. Ini bisa menjadi ajang diskusi yang sehat dan produktif.
Kedua, "Biblioteka Pejabat". Anggaran untuk pengadaan buku-buku baru yang relevan dengan kepemimpinan dan kebijakan harus dialokasikan secara wajib di setiap kementerian atau lembaga. Perpustakaan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyimpanan, tetapi juga sebagai ruang diskusi informal tempat pejabat bisa saling bertukar pikiran tentang buku yang mereka baca.