Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jurus Kuno "Panen Air Hujan" untuk Merdeka dari Krisis Air

26 Agustus 2025   08:23 Diperbarui: 27 Agustus 2025   07:07 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa UGM memasang Gama Rainfilter untuk panen air hujan (Sumber: Dok. Univesitas Gadjah Mada)

"Jurus kuno yang bikin warga 'merdeka' dari krisis air, mungkinkah panen air hujan jadi jawaban atas ironi banjir dan kekeringan yang tak pernah usai?"

Beberapa hari di tahun 2013 itu terasa seperti kembali ke masa lalu, setidaknya secara visual. Saat itu saya sedang melakukan penelitian sosial ekonomi di Wonogiri. Pemandangan pedesaan yang asri, kebun jagung di lahan kering, hingga sapi-sapi yang merumput di lereng bukit. 

Semuanya terlihat normal, sampai akhirnya saya melihat sebuah mobil tangki besar mengantri di depan rumah warga. Di belakangnya, ada beberapa jeriken dan ember kosong. Ternyata, mobil itu bukan sedang mengantar bahan bakar, tapi air.

Sembari mengamati, saya berinteraksi dengan salah satu warga. Dengan senyum ramah, beliau menjelaskan kalau mereka memang sering membeli air, terutama untuk minum dan kebutuhan sehari-hari. Uniknya, hampir setiap rumah di sana sudah punya bak penampungan air yang sangat besar, sebagian bahkan permanen dari beton. 

Bak itu mereka gunakan untuk menampung air hujan saat musim hujan tiba. Tapi airnya hanya bisa bertahan beberapa minggu atau paling lama beberapa bulan. Sisanya, ya terpaksa harus beli dari mobil tangki, bahkan untuk kebutuhan ternak mereka yang harganya juga tidak murah. 

Melihat mereka menampung air hujan secara sederhana, pertanyaan pun muncul di benak saya: apakah air hujan yang ditampung oleh masyarakat Wonogiri aman untuk dikonsumsi?

Saya sadar, saat itu metode yang mereka pakai masih sebatas 'menampung', belum sampai ke tahap 'memanen'. Hal itu yang jadi pembeda.

Krisis Air, Dulu dan Kini

Tahun demi tahun berlalu, cerita dari Wonogiri itu sesekali terlintas di pikiran. Ternyata, masalah yang sama juga terjadi di banyak daerah lain. 

Setiap musim kemarau, laporan tentang kekeringan, kesulitan air bersih, dan antrean panjang warga untuk mendapatkan air menjadi berita yang rutin. Masalahnya bukan lagi sekadar tidak ada air, tapi juga soal akses, kualitas, dan ketersediaannya. 

Di sisi lain, saat musim hujan tiba, kita justru dihadapkan pada masalah kelebihan air, yaitu banjir dan genangan. Ini seperti ironi alam, air datang melimpah tapi tidak bisa dimanfaatkan, bahkan justru jadi bencana.

Panen Air Hujan, Solusi Sederhana yang Bikin Merdeka?

Dari fenomena inilah, ide panen air hujan atau rainwater harvesting muncul kembali ke permukaan. Konsepnya sederhana, mengambil berkah dari langit dan menyimpannya untuk masa depan. 

Namun, panen air hujan jauh lebih canggih dari sekadar menampung air. Ini adalah sebuah sistem terpadu yang bertujuan untuk kemandirian air. 

Bayangkan, dengan sistem ini, air hujan yang jatuh dari atap bisa disaring, disimpan, bahkan diolah hingga layak konsumsi. Ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan, tapi tentang melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber air konvensional yang kian menipis dan mahal. Sebuah langkah kecil yang bisa bikin kita 'merdeka' dari krisis air di rumah sendiri.

Bukan Sekadar Wacana, Tapi Sudah Terbukti di Lapangan

Ide ini bukan lagi mimpi. Di Wonogiri sendiri, tempat cerita saya dimulai, konsep ini sudah mulai diimplementasikan. Dilansir dari Radar Solo, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Wonogiri bahkan memiliki alat yang bisa mengubah air hujan menjadi air siap konsumsi. 

Prosesnya pun sederhana, air hujan ditampung, disaring, dan diolah dengan elektrolisa. Kepala BPBD Wonogiri, Bambang Haryanto, bahkan menyebut rasanya lebih segar. Ini membuktikan bahwa air hujan, yang selama ini dianggap kotor, bisa diolah dengan teknologi sederhana menjadi sumber air yang layak.

Secara ilmiah, potensi ini juga sudah teruji. Mengacu pada penelitian yang disusun oleh Dany Aryanto dari Universitas Muhammadiyah Surakarta, potensi panen air hujan di salah satu desa di Wonogiri terbukti secara kuantitatif mampu mencukupi kebutuhan air untuk rumah tangga. Ini menegaskan bahwa jika dikelola dengan baik, air hujan bisa menjadi sumber daya utama, bukan sekadar pelengkap.

Baca juga: Pengangguran? Bisa Jadi Rezeki Ada di Sampahmu!

Kenapa Harus Panen Air Hujan? Banyak Manfaatnya!

Panen air hujan punya banyak manfaat yang mungkin belum terpikirkan. Pertama, jelas, sebagai solusi krisis air bersih. Di musim kemarau, warga tidak perlu lagi bergantung pada mobil tangki yang harganya bisa bikin dompet tipis atau mencari sumber air dari jarak jauh. 

Kedua, sistem ini juga berperan sebagai jurus ampuh untuk mitigasi banjir. Dikutip dari Pusat Krisis Kemenkes, dengan menampung air hujan yang jatuh dari atap ke dalam bak penampungan, kita mengurangi limpasan air yang menjadi penyebab genangan di perkotaan. Air yang ditampung kemudian dialirkan ke sumur resapan, mengisi kembali cadangan air tanah yang terus berkurang. Jadi, kita bisa mendapatkan dua manfaat sekaligus: air bersih dan lingkungan yang lebih aman dari banjir.

Tiga Kunci Sukses Metode Panen Air Hujan

Tentu saja, keberhasilan program ini tidak bisa berdiri sendiri. Panen air hujan ini berhasil berkat kolaborasi erat antara tiga pihak yang saling mendukung.

Pemerintah, Garda Terdepan

Pemerintah, melalui berbagai lembaga seperti BPBD dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, berperan sebagai motor penggerak. 

Dilansir dari Kemenko PMK, pemerintah mendorong program ini sebagai solusi inovatif dan pendekatan sosial berbasis gotong royong. Mereka tidak hanya memberikan dana, tetapi juga memfasilitasi pelatihan, sehingga masyarakat bisa mandiri.

Akademisi, Otak Inovasi di Balik Layar

Tidak bisa dimungkiri, inovasi dari akademisi punya peran vital. Teknologi penyaringan seperti Gama Rainfilter yang dikembangkan oleh UGM adalah bukti nyata bahwa para ilmuwan kita mampu menciptakan solusi yang praktis dan efektif. Mereka menguji, memperbaiki, dan memastikan bahwa air yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi. Tanpa peran mereka, panen air hujan mungkin hanya sebatas ide di atas kertas.

Masyarakat, Ujung Tombak Pelaksanaan

Pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi ujung tombak. Mereka yang menjalankan, merawat, dan merasakan langsung manfaatnya. Program seperti "Arisan Panen Hujan" yang disebut oleh Kemenko PMK adalah contoh bagaimana partisipasi aktif masyarakat bisa menggerakkan roda perekonomian dan kemandirian secara kolektif. Dari Wonogiri, kita melihat bagaimana warga belajar menjadi relawan tangguh bencana kekeringan, sebuah sikap yang patut diacungi jempol.

Tantangan dan Masa Depan yang Menjanjikan

Meski begitu, panen air hujan juga punya tantangan. Isu kualitas air, terutama saat awal musim hujan, menjadi salah satu perhatian. Kotoran dari atap atau kandungan bakteri seperti Ecoli harus diatasi dengan sistem penyaringan yang tepat dan pembersihan rutin. Ini adalah PR yang harus dikerjakan bersama, terutama dalam hal edukasi kepada masyarakat.

Namun, potensi dan manfaatnya jauh lebih besar daripada tantangannya. Panen air hujan adalah cara kita untuk menyeimbangkan alam. Mengambil air saat ia melimpah untuk digunakan saat ia langka. Ini adalah langkah sederhana yang cerdas untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. 

Cerita dari Wonogiri yang saya temukan di tahun 2013 kini menjadi bukti nyata bahwa panen air hujan bukan lagi sekadar impian, tapi sudah jadi kenyataan yang bisa membuat kita, dan lingkungan, lebih tangguh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun