"Mengapa etika di transportasi umum sering kali terasa seperti barang langka, dan apakah kita adalah bagian dari masalah atau solusinya?"
Bagi sebagian besar penduduk kota-kota besar, pemandangan kereta atau bus yang sesak di jam sibuk sudah jadi menu sarapan dan makan malam harian. Suara bising mesin, hiruk pikuk percakapan, dan aroma kopi di tangan kiri seolah menjadi orkestra yang mengiringi kita memulai dan mengakhiri hari. Di tengah lautan manusia ini, mungkin banyak dari kita yang berpikir, "Yang penting sampai tujuan, urusan hati dan pikiran biar nanti saja." Tapi, kalau dipikir-pikir lagi, bukankah ketenangan itu juga bisa kita temukan bahkan di dalam gerbong yang paling sesak? Bukankah interaksi kecil dengan sesama bisa membuat perjalanan jauh lebih bermakna? Perjalanan pulang bukan cuma soal membawa badan, tapi juga membawa pulang sedikit ketenangan hati yang kita tabur dan kita tuai di sepanjang jalan.
Mengapa Kursi Prioritas Terasa Kalah Penting dari Nurani Kita?
Mari kita jujur, di antara sekian banyak etika naik kendaraan umum, etika soal tempat duduk mungkin jadi yang paling sering kita lupakan atau, setidaknya, pura-pura lupakan. Kita pasti pernah melihat seorang ibu hamil berdiri terhuyung-huyung, atau seorang lansia yang tampak lelah memegang tiang dengan erat, sementara kita sibuk memainkan gawai atau berpura-pura tidur. Kursi prioritas yang seharusnya jadi tempat aman bagi mereka sering kali diisi oleh orang-orang yang fisiknya sebenarnya lebih kuat.
Mengacu pada RRI.co.id, etika memilih tempat duduk di transportasi umum sangat berfokus pada empati. Poin-poinnya jelas, mendahulukan lansia, ibu hamil, penyandang disabilitas, atau orang tua dengan anak kecil. Etika ini sebenarnya lebih dari sekadar aturan yang tercetak, itu adalah ujian nurani kita. Memberikan tempat duduk kepada yang membutuhkan bukan hanya soal hak mereka, tapi juga soal bagaimana kita melihat sesama manusia. Ini adalah tindakan kecil yang tak butuh banyak tenaga, tapi efeknya luar biasa besar untuk menciptakan suasana yang lebih menghargai.
Baca juga:Â Mana Lebih Prioritas, Memberi Uang ke Orang Tua atau Istri?
Antre, Bukan Sekadar Budaya Tapi Fondasi Peradaban Kita
Pernahkah kita menyaksikan bagaimana kerumunan orang berebut masuk ke dalam gerbong kereta seolah-olah itu adalah kompetisi lari 100 meter? Mereka saling dorong, menyerobot, dan melupakan satu hal sederhana yang seharusnya sudah jadi kebiasaan sejak kita kecil, yaitu antre. Sering kali, kita merasa tergesa-gesa dan menganggap antrean adalah hal yang membuang-buang waktu. Padahal, sebaliknya. Antre adalah fondasi dasar dari sebuah peradaban yang tertib.
Dikutip dari Liputan6.com, etika pertama yang wajib kita terapkan saat menggunakan kendaraan umum adalah antre dengan tertib. Antre itu bukan cuma soal menunggu giliran, tapi soal menghargai waktu dan hak orang lain. Saat semua orang mau bersabar dan antre, proses naik dan turun kendaraan akan jadi lebih cepat, lancar, dan aman. Tidak ada lagi yang terjepit atau saling dorong. Jadi, antre itu bukan cuma soal sabar, tapi soal bagaimana kita mempercayai bahwa semua akan mendapatkan giliran yang adil.
Bawa Tas Gede, Bikin Sesak, Bikin Orang Lain Resah?
Lingkungan transportasi umum adalah ruang bersama. Artinya, apa yang kita lakukan akan memengaruhi orang lain di sekitar kita. Pernah merasa terganggu karena ada orang yang berbicara di telepon dengan volume keras, atau penumpang lain membawa tas ransel besar di punggungnya hingga menyenggol dan memenuhi lorong? Atau mungkin ada penumpang yang membuka bekal dengan aroma menyengat, yang langsung menyebar di dalam ruangan tertutup?
Etika menjaga kenyamanan ini sangatlah penting. Salah satu poin yang disorot adalah pentingnya tidak menelepon atau mengobrol dengan suara keras. Jika kita ingin mendengarkan musik, menggunakan earphone adalah bentuk toleransi modern. Begitu juga dengan barang bawaan. Menaruh tas di depan tubuh kita atau di pangkuan, alih-alih di punggung, adalah tindakan sederhana yang menunjukkan kita peduli terhadap ruang pribadi orang lain. Tindakan-tindakan kecil ini adalah cara kita mengatakan "Aku menghormati kehadiranmu" tanpa perlu berkata-kata.
Etika yang Sederhana, Efeknya Tak Main-Main
Tiga pilar etika di atas—memberikan tempat duduk, antre, dan menghargai ruang pribadi—semuanya saling terkait. Mereka adalah bagian dari satu sistem yang bertujuan untuk membuat perjalanan publik menjadi pengalaman yang menyenangkan, bukan sekadar kewajiban. Setiap tindakan kecil yang kita lakukan punya efek domino. Satu orang yang berani memberikan kursinya bisa menginspirasi orang lain. Satu orang yang disiplin mengantre bisa mengingatkan kita semua akan pentingnya ketertiban.