"Alih-alih menyalahkan diri sendiri, ternyata ada kombinasi faktor biologis, psikologis, dan lingkungan yang membuat kesehatan mental seseorang menjadi rumit."
Seringkali, kalau ada orang yang sedang berjuang dengan kesehatan mentalnya, kita suka dengar tanggapan yang menyederhanakan masalah. "Ah, kurang bersyukur aja," atau "Mending banyakin salat, deh." Tentu niatnya baik, tapi kok rasanya malah bikin tambah pusing, ya? Seolah-olah masalah di dalam kepala dan hati kita itu cuma bisa diselesaikan dengan satu cara instan. Padahal, kalau kita gali lebih dalam, ilmu di baliknya itu rumit banget, lho. Bukan sekadar soal niat atau hati yang lemah. Ada banyak faktor yang saling tumpang tindih, ibarat benang kusut yang susah diurai. Jadi, apa iya sesimpel itu? Rasanya kok tidak, ya.
Kenapa Kita Sering Menyederhanakan Masalah Ini, Kok Bisa?
Mungkin karena selama ini kita diajari untuk melihat segala sesuatu itu dari satu sisi saja. Kalau ada masalah, ya cari satu penyebab. Kalau sedih, ya pasti ada satu pemicu. Padahal, kesehatan mental itu jauh lebih kompleks dari itu. Banyak ahli kesehatan dan penelitian yang sudah membuktikan kalau gangguan mental itu muncul bukan dari satu kesalahan, tapi dari interaksi banyak hal yang rumit dan mendalam.
Itu sebabnya, pandangan yang menyamaratakan semua masalah mental sering kali tidak membantu. Justru, malah bisa menambah beban mental bagi yang sedang berjuang. Bayangkan, saat kita merasa sangat terpuruk dan butuh bantuan, orang di sekitar cuma bilang "kamu kurang doa" atau "hidupmu kurang tantangan." Padahal, di dalam diri orang itu, ada badai yang sedang bergolak hebat, jauh lebih besar dari sekadar kurang bersyukur.
Bukan Sekadar Masalah Hati dan Pikiran, Ada Sistem Biologis yang Ikut Bermain
Hal pertama yang sering luput dari perhatian kita adalah faktor biologis. Ada kalanya, gangguan mental itu bukan cuma soal perasaan, tapi juga soal 'sistem kabel' di otak kita yang sedang tidak beres. Mengacu pada artikel di Alodokter, penyebab gangguan mental bisa datang dari masalah biologis, seperti ketidakseimbangan zat kimia di otak yang bernama neurotransmitter. Zat ini punya peran vital dalam mengatur suasana hati dan emosi. Kalau jumlahnya tidak seimbang, wajar kalau kita tiba-tiba merasa sangat sedih, cemas, atau marah tanpa sebab yang jelas.
Selain itu, faktor genetik juga punya andil besar. Kalau ada riwayat gangguan mental di keluarga, risiko kita untuk mengalaminya memang lebih tinggi. Ini bukan berarti kita pasti akan mengalaminya, ya. Namun, kerentanan itu memang sudah ada. Ibaratnya, kita punya bibit yang lebih sensitif, dan tinggal menunggu pemicu dari luar untuk tumbuh. Jadi, kalau ada yang bilang gangguan mental itu cuma masalah pikiran, sepertinya mereka lupa kalau otak kita itu organ biologis yang bisa sakit, sama seperti organ tubuh lainnya.
Jejak Masa Lalu dan Pergulatan Batin yang Terus Membekas
Selain faktor biologis, ada juga faktor psikologis yang punya peran sangat besar. Pengalaman hidup kita, terutama saat masa kecil, itu bisa jadi cetakan yang sangat kuat bagi kesehatan mental. Luka-luka di masa lalu itu sering kali tidak hilang, tapi hanya terkubur dalam-dalam.
Dikutip dari jurnal ilmiah STIKes Yarsi Pontianak, trauma masa kecil dan stres merupakan faktor risiko yang signifikan. Misalnya, kalau seseorang tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan atau pelecehan, itu akan membentuk cara pandangnya terhadap dunia dan dirinya sendiri. Perasaan tidak aman, rasa takut, dan rendah diri bisa terus membayangi sampai dewasa. Hal ini yang kemudian membuat mereka lebih rentan terhadap gangguan mental saat menghadapi tekanan hidup di kemudian hari. Jadi, pergulatan batin yang mereka alami itu bukan tanpa sebab, tapi merupakan jejak dari masa lalu yang terus membekas.
Stres Dompet Tipis dan Tekanan Hidup yang Bikin Kepala Pusing Bukan Kepalang
Faktor ketiga yang juga sangat memengaruhi adalah lingkungan sosial dan ekonomi. Di zaman yang serba kompetitif ini, tekanan hidup itu datang dari mana-mana. Stres karena dompet yang tipis, tuntutan pekerjaan yang tidak ada habisnya, atau konflik di rumah bisa jadi pemicu yang kuat.
Dilansir dari situs Kementerian Kesehatan RI, faktor ekonomi dan sosial memang punya peran penting dalam memicu gangguan kesehatan mental. Kemiskinan, misalnya, bisa menciptakan stres kronis yang memengaruhi fungsi otak dan memperburuk kondisi mental. Selain itu, masalah dalam hubungan interpersonal, seperti perceraian atau putus dengan pasangan, juga bisa membuat kita merasa terisolasi dan sendirian. Tekanan ini bukan cuma soal sedih sebentar, tapi bisa jadi beban berat yang menggerogoti kesehatan mental kita perlahan-ahan, sampai akhirnya meledak.