"Benarkah tatapan mata bisa jadi petunjuk tersembunyi untuk mengenali sosok psikopat? Begini penjelasan ilmiahnya!"
Kita pasti sering dengar celetukan, "Dari matanya aja udah keliatan". Atau, "Mata itu enggak bisa bohong, jendela jiwa katanya." Memang sih, mata punya daya pikat luar biasa. Sorotnya bisa menceritakan banyak hal. Bahagia, sedih, marah, atau bahkan menyimpan misteri yang bikin penasaran setengah mati. Tapi, kalau soal membaca gelagat seseorang yang katanya psikopat hanya dari matanya, apa iya seakurat itu? Bisa jadi detektor berjalan gitu?
Fenomena tentang psikopat ini memang selalu bikin penasaran, dan kadang bikin merinding. Di film atau serial, kita sering disuguhi sosok psikopat yang tatapannya dingin, menusuk, dan bikin bulu kuduk berdiri. Makanya, tak sedikit dari kita yang otomatis merasa bisa nge-detect kalau ada gelagat aneh dari sorot mata seseorang. Tapi benarkah sains mendukung klaim populer ini? Mari kita ngintip sedikit apa kata penelitian.
Benarkah Bisa Membaca Psikopat dari Mata?
Sebelum jauh-jauh membahas soal mata, ada baiknya kita pahami dulu sedikit tentang psikopat ini. Dalam kacamata awam, psikopat sering digambarkan sebagai individu yang sama sekali tidak punya perasaan, alias batu. Mereka sering digambarkan sebagai sosok yang egois, antisosial, dan yang paling horor, tidak punya rasa penyesalan atau empati. Bayangkan saja, bagaimana rasanya hidup tanpa bisa merasakan kesedihan atau penderitaan orang lain? Pasti ngeri, kan? Konon, kondisi ini seringkali berakar dari masalah emosional di masa kecil, seperti kurangnya kasih sayang atau penolakan.
Nah, dari situlah muncul pertanyaan besar, kalau mereka memang 'beda', apa perbedaannya juga tercermin secara fisik, khususnya di mata? Kita semua tahu, mata itu organ yang rumit. Selain buat melihat, pupil mata juga secara otomatis bereaksi terhadap emosi. Misalnya, kalau kita kaget atau takut, pupil kita cenderung membesar. Ini semacam respons alami tubuh yang siap siaga. Tapi, bagaimana kalau seseorang memang 'dirancang' tanpa kemampuan merespons emosi seperti itu?
Baca juga:Â Ketenangan Hati dan Jiwa, Barang Langka di Zaman Bising Ini?
Studi Ilmiah Membongkar Rahasia Pupil yang 'Beda Sendiri'
Ternyata, para ilmuwan juga penasaran banget soal ini. Ada beberapa penelitian yang mencoba menguak misteri di balik tatapan mata individu dengan ciri-ciri psikopati. Salah satu temuan yang cukup menarik adalah soal respons pupil mata.
Dilansir dari Babel Insight, ada sebuah studi menarik dari Universitas Cardiff dan Swansea di tahun 2018 yang meneliti para pria dengan gangguan mental, termasuk mereka yang punya ciri-ciri psikopati. Hasilnya cukup mengejutkan! Ketika orang pada umumnya melihat gambar atau mendengar suara yang memicu rasa takut atau ancaman, pupil mata mereka akan membesar. Ini adalah respons fisiologis tubuh yang normal, semacam alarm otomatis.
Namun, mengacu pada studi yang juga dikutip oleh CNBC Indonesia, pupil mata individu dengan ciri psikopati justru menunjukkan reaksi yang berkurang, atau bahkan tidak ada perubahan sama sekali, saat diperlihatkan stimulus yang menakutkan. Bayangkan, melihat gambar yang bikin orang lain jerit ketakutan, tapi pupil mereka tetap anteng-anteng saja. Ini bukan berarti mereka berani, tapi lebih ke arah ketidakmampuan sistem saraf mereka untuk merespons emosi negatif seperti ketakutan atau ancaman.
Implikasinya? Ini bisa jadi cerminan bahwa ada 'korsleting' di bagian otak yang mengatur emosi, seperti amigdala. Kalau seseorang tidak bisa merespons rasa takut atau ancaman pada level fisiologis, tentu saja mereka juga kesulitan merasakan empati atau penyesalan saat berbuat 'nakal'. Mereka tidak merasakan konsekuensi emosional yang sama seperti kita.
Tatapan Dingin dan Kontak Mata Penuh Taktik, Bukan Sekadar Mimik Biasa
Selain soal respons pupil, perilaku tatapan dan kontak mata juga punya ciri khasnya sendiri pada individu yang punya kecenderungan psikopati.
Dikutip dari CNN Indonesia, para peneliti juga mengamati bahwa individu dengan ciri psikopati cenderung melakukan lebih sedikit kontak mata dalam interaksi sosial. Kalaupun mereka melakukan kontak mata, itu seringkali terasa dingin dan kosong, seolah tidak ada jiwa di baliknya. Ini bukan seperti tatapan mata orang yang malu atau canggung, melainkan tatapan yang seolah tidak punya empati sama sekali. Bayangkan saja, bicara dengan seseorang tapi sorot matanya hampa, pasti bikin kita merasa aneh, kan?
Menariknya, ada juga laporan bahwa terkadang mereka justru bisa melakukan kontak mata yang sangat intens dan lama. Tatapan ini bukan tatapan yang akrab atau penuh perhatian, melainkan tatapan yang terasa mengancam atau bahkan manipulatif. Mereka mungkin menggunakannya untuk mengintimidasi, mengendalikan situasi, atau bahkan 'membaca' reaksi lawan bicara mereka untuk mencari celah. Ini semacam taktik, bukan koneksi emosional.
Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa psikopat cenderung menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat foto atau gambar yang menggambarkan emosi negatif, seperti rasa sakit atau rasa malu. Tapi ingat, ini bukan karena mereka bersimpati. Justru, bisa jadi ini semacam rasa penasaran yang dingin, atau bahkan mungkin menikmati penderitaan orang lain. Atau, mereka sedang menganalisis bagaimana kelemahan emosional orang lain itu bisa dimanfaatkan.
Jangan Buru-buru Nge-judge, Mata Bukan Satu-satunya Hakim!
Nah, ini dia poin pentingnya. Meskipun penelitian menunjukkan pola-pola menarik pada tatapan mata individu dengan ciri psikopati, kita jangan buru-buru jadi detektif dadakan dan melabeli setiap orang yang tatapannya aneh sebagai psikopat. Ingat, ini bukan alat diagnosis satu-satunya yang paten!
Pertama, perilaku mata bisa dipengaruhi banyak faktor. Seseorang mungkin memiliki tatapan yang dingin karena dia pemalu, cemas, sedang tidak nyaman, atau bahkan karena perbedaan budaya dalam berinteraksi. Ada orang yang memang tidak terbiasa melakukan kontak mata langsung. Jadi, kita harus hati-hati dan tidak langsung menyimpulkan tanpa bukti yang cukup.
Kedua, psikopati itu sendiri adalah konstruksi psikologis yang sangat kompleks. Tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek fisik saja. Ini melibatkan pola perilaku jangka panjang, riwayat hidup, dan berbagai dimensi kepribadian yang hanya bisa dievaluasi oleh psikolog atau psikiater terlatih. Kalau hanya dari mata, itu sama saja kayak kita coba memvonis penyakit serius hanya dari warna kuku. Enggak mungkin, kan?
Memahami 'Wajah' Sosial Kita, Lebih dari Sekadar Deteksi
Jadi, kalau mata bukan satu-satunya kunci, kenapa kita perlu tahu soal ini? Tujuannya bukan untuk melabeli orang seenaknya, melainkan untuk meningkatkan kesadaran kita. Memahami bahwa ada perbedaan dalam cara orang memproses emosi, terutama rasa takut dan empati, bisa membuat kita lebih jeli dalam interaksi sosial.
Ini tentang memahami kompleksitas manusia. Tentang bagaimana otak dan emosi bekerja secara berbeda pada tiap individu. Pemahaman ini bisa membantu kita lebih waspada terhadap potensi perilaku manipulatif atau antisosial, tanpa harus menjadi paranoid. Ini juga mengajarkan kita bahwa empati itu penting, dan ketidakhadirannya bisa berdampak serius pada interaksi sosial.
Pada akhirnya, mata memang bisa jadi jendela jiwa, tapi jendelanya itu punya banyak 'tirai' dan 'lapis'. Kita perlu melihat gambaran yang lebih besar, dari perilaku secara keseluruhan, pola interaksi, dan bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Jadi, tetap jeli, tapi jangan cuma fokus pada tatapan mata saja ya. Karena hidup ini terlalu kompleks untuk dinilai hanya dari satu sudut pandang saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI