Selain soal respons pupil, perilaku tatapan dan kontak mata juga punya ciri khasnya sendiri pada individu yang punya kecenderungan psikopati.
Dikutip dari CNN Indonesia, para peneliti juga mengamati bahwa individu dengan ciri psikopati cenderung melakukan lebih sedikit kontak mata dalam interaksi sosial. Kalaupun mereka melakukan kontak mata, itu seringkali terasa dingin dan kosong, seolah tidak ada jiwa di baliknya. Ini bukan seperti tatapan mata orang yang malu atau canggung, melainkan tatapan yang seolah tidak punya empati sama sekali. Bayangkan saja, bicara dengan seseorang tapi sorot matanya hampa, pasti bikin kita merasa aneh, kan?
Menariknya, ada juga laporan bahwa terkadang mereka justru bisa melakukan kontak mata yang sangat intens dan lama. Tatapan ini bukan tatapan yang akrab atau penuh perhatian, melainkan tatapan yang terasa mengancam atau bahkan manipulatif. Mereka mungkin menggunakannya untuk mengintimidasi, mengendalikan situasi, atau bahkan 'membaca' reaksi lawan bicara mereka untuk mencari celah. Ini semacam taktik, bukan koneksi emosional.
Lebih lanjut, disebutkan juga bahwa psikopat cenderung menghabiskan waktu lebih lama untuk melihat foto atau gambar yang menggambarkan emosi negatif, seperti rasa sakit atau rasa malu. Tapi ingat, ini bukan karena mereka bersimpati. Justru, bisa jadi ini semacam rasa penasaran yang dingin, atau bahkan mungkin menikmati penderitaan orang lain. Atau, mereka sedang menganalisis bagaimana kelemahan emosional orang lain itu bisa dimanfaatkan.
Jangan Buru-buru Nge-judge, Mata Bukan Satu-satunya Hakim!
Nah, ini dia poin pentingnya. Meskipun penelitian menunjukkan pola-pola menarik pada tatapan mata individu dengan ciri psikopati, kita jangan buru-buru jadi detektif dadakan dan melabeli setiap orang yang tatapannya aneh sebagai psikopat. Ingat, ini bukan alat diagnosis satu-satunya yang paten!
Pertama, perilaku mata bisa dipengaruhi banyak faktor. Seseorang mungkin memiliki tatapan yang dingin karena dia pemalu, cemas, sedang tidak nyaman, atau bahkan karena perbedaan budaya dalam berinteraksi. Ada orang yang memang tidak terbiasa melakukan kontak mata langsung. Jadi, kita harus hati-hati dan tidak langsung menyimpulkan tanpa bukti yang cukup.
Kedua, psikopati itu sendiri adalah konstruksi psikologis yang sangat kompleks. Tidak bisa hanya dilihat dari satu aspek fisik saja. Ini melibatkan pola perilaku jangka panjang, riwayat hidup, dan berbagai dimensi kepribadian yang hanya bisa dievaluasi oleh psikolog atau psikiater terlatih. Kalau hanya dari mata, itu sama saja kayak kita coba memvonis penyakit serius hanya dari warna kuku. Enggak mungkin, kan?
Memahami 'Wajah' Sosial Kita, Lebih dari Sekadar Deteksi
Jadi, kalau mata bukan satu-satunya kunci, kenapa kita perlu tahu soal ini? Tujuannya bukan untuk melabeli orang seenaknya, melainkan untuk meningkatkan kesadaran kita. Memahami bahwa ada perbedaan dalam cara orang memproses emosi, terutama rasa takut dan empati, bisa membuat kita lebih jeli dalam interaksi sosial.
Ini tentang memahami kompleksitas manusia. Tentang bagaimana otak dan emosi bekerja secara berbeda pada tiap individu. Pemahaman ini bisa membantu kita lebih waspada terhadap potensi perilaku manipulatif atau antisosial, tanpa harus menjadi paranoid. Ini juga mengajarkan kita bahwa empati itu penting, dan ketidakhadirannya bisa berdampak serius pada interaksi sosial.
Pada akhirnya, mata memang bisa jadi jendela jiwa, tapi jendelanya itu punya banyak 'tirai' dan 'lapis'. Kita perlu melihat gambaran yang lebih besar, dari perilaku secara keseluruhan, pola interaksi, dan bagaimana seseorang memperlakukan orang lain. Jadi, tetap jeli, tapi jangan cuma fokus pada tatapan mata saja ya. Karena hidup ini terlalu kompleks untuk dinilai hanya dari satu sudut pandang saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI