Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Refleksi Hari Lahir Pancasila: Mengapa Partisipasi Publik Bukan Sekadar Basa-Basi?

1 Juni 2025   12:20 Diperbarui: 1 Juni 2025   12:20 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo dalam Hari Lahir Pancasila (Sumber: Instagram/Gerindrajatim)

"Saat kebijakan pemerintah makin top-down, apakah kedaulatan rakyat masih berarti, atau kita jalan pelan ke arah otoritarianisme?"

Pernahkah merasa "kok gini amat ya?" ketika melihat sebuah kebijakan baru diluncurkan pemerintah? Rasanya kok beda jauh dengan apa yang kita harapkan, bahkan kadang malah bikin dahi mengernyit. Ibarat mau masak nasi goreng, tapi bumbunya cuma dibayangkan tanpa ada rempah yang diulek. Hasilnya? Jelas hambar, atau bahkan gak enak. Nah, kurang lebih begitu juga dengan kebijakan publik. Kalau suara rakyat tak jadi bumbu utama, jangan kaget kalau kebijakan itu jadi jauh panggang dari api.

Hari ini, peringatan Hari Lahir Pancasila, kita diajak kembali merenung. Bukan cuma sekadar upacara atau pasang bendera, tapi lebih dalam, apakah nilai-nilai luhur Pancasila itu sudah benar-benar hidup dalam setiap denyut nadi pemerintahan dan kehidupan berbangsa kita? Terutama, pada Sila Keempat Pancasila: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sebuah sila yang sebetulnya jadi kompas utama kita dalam bernegara. Tapi, belakangan ini, ada perasaan kalau kompas ini kadang agak miring, bahkan serasa digenggam erat-erat oleh segelintir pihak saja. Partisipasi publik, yang seharusnya jadi ruh demokrasi, kadang terasa seperti sekadar pelengkap, basa-basi, atau bahkan sengaja dimarjinalkan. Kalau begini terus, jangan-jangan kita sedang jalan mundur menuju jurang otoritarianisme, di mana suara rakyat tak lagi berarti. Serem, kan?

Mengapa Kedaulatan Rakyat Itu Penting? Dari Musyawarah sampai Meja Kebijakan

Mari kita ingat lagi. Sila keempat itu bukan cuma soal ada DPR atau DPRD. Lebih dari itu, ia berbicara tentang hikmat kebijaksanaan yang harus mendasari setiap keputusan. Kebijaksanaan itu lahir dari musyawarah, dari berembuk, dari saling mendengarkan berbagai sudut pandang. Bayangkan kalau kita mau liburan keluarga, tapi cuma Ayah atau Ibu yang mutusin semua tanpa tanya pendapat anak-anak. Bisa jadi liburan itu malah jadi bete, karena gak sesuai keinginan bersama.

Dalam konteks negara, rakyat adalah "keluarga besar" ini. Kebijakan publik yang dihasilkan haruslah mencerminkan aspirasi, kebutuhan, dan juga kekhawatiran dari semua anggota keluarga. Kalau prosesnya top-down, dari atas langsung turun ke bawah tanpa ada partisipasi yang berarti, ya kebijakan itu bisa jadi blunder. Ibaratnya, pemerintah merasa paling tahu kebutuhan rakyat, padahal yang merasakan langsung ya rakyat itu sendiri. Di sinilah kedaulatan rakyat itu bermanifestasi. Bukan cuma di bilik suara saat pemilu, tapi juga dalam setiap detik proses perumusan kebijakan. Ini adalah refleksi nyata dari semangat Pancasila yang harus terus kita jaga.

Suara Rakyat Tak Terdengar Pada Program-Program yang Dicap Top-Down

Beberapa waktu belakangan, ada beberapa program dan kebijakan pemerintah yang sempat jadi buah bibir. Bukan cuma karena isi programnya, tapi juga karena proses pembuatannya yang dinilai kurang melibatkan partisipasi publik secara utuh. Seolah-olah, draft sudah jadi, tinggal ketok palu saja. Ini tentu jadi catatan merah, apalagi di Hari Lahir Pancasila ini.

Makan Bergizi Gratis: Niat Baik, Tapi Proses Masih di Awang-awang?

Ambil contoh program Makan Bergizi Gratis (MBG). Niatnya mulia, ya siapa sih yang gak mau anak-anak bangsa sehat dan bergizi? Tapi, pertanyaannya, bagaimana proses program ini dirumuskan? Apakah sudah melibatkan ahli gizi, pakar kesehatan anak, praktisi pendidikan, atau bahkan orang tua murid secara luas?

Dikutip dari FIAN Indonesia, ada setidaknya empat alasan mengapa program MBG ini dinilai cacat sejak awal dan berpotensi gagal, salah satunya karena proses yang kurang transparan dan minim pelibatan pemangku kepentingan. Ada kekhawatiran tentang sumber anggaran, mekanisme distribusi, hingga keberlanjutan program tanpa masukan yang komprehensif.

Mengacu pada tulisan di Muda Bicara ID, program ini juga menuai kritik ekonomi politik karena minimnya partisipasi publik yang substansial. Ini penting, karena program sebesar ini akan berdampak pada jutaan anak dan melibatkan anggaran yang tidak sedikit. Kalau kita, sebagai rakyat, merasa ada banyak pertanyaan di kepala tapi tak tahu harus menyalurkan masukan ke mana, ya wajar kalau muncul tanda tanya besar.

Dana Abadi Pesantren: Untung-Rugi Tanpa Musyawarah Riil?

Selanjutnya ada Program Dana Abadi Pesantren (DAP). Lagi-lagi, tujuannya baik, untuk kemajuan pendidikan pesantren. Tapi, apakah suara dari seluruh elemen pesantren, mulai dari pengasuh, santri, hingga alumni, sudah benar-benar terwakili dalam perumusan kebijakan ini? Atau justru lebih banyak didominasi oleh suara-suara tertentu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun