Mohon tunggu...
Taufiq Agung Nugroho
Taufiq Agung Nugroho Mohon Tunggu... Asisten Peneliti

Seorang bapak-bapak berkumis pada umumnya yang kebetulan berprofesi sebagai Asisten Peneliti lepas di beberapa lembaga penelitian. Selain itu saya juga mengelola dan aktif menulis di blog mbahcarik.id

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Mantan Kapolres Ngada: Bukti Gagalnya Sistem, Kemana Akuntabilitas?

12 Maret 2025   05:59 Diperbarui: 12 Maret 2025   05:59 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kasus mantan Kapolres Ngada (Sumber: Leonardo AI)

Salah Siapa Jika Penegak Hukum Malah Melanggar Hukum?

Kasus yang satu ini benar-benar bikin geram. Bayangkan, orang yang seharusnya menjaga keamanan dan menegakkan hukum malah diduga mencabuli anak di bawah umur. Bukan orang biasa, bukan juga penjahat kelas teri, tapi seorang mantan Kapolres!

Ya, ini bukan adegan di film kriminal atau plot twist drama Korea. Ini kejadian nyata yang terjadi di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman, diduga terlibat dalam kasus pencabulan terhadap seorang anak berusia enam tahun. Menurut laporan Antara, kasus ini sudah naik ke tahap penyidikan, meskipun hingga kini AKBP Fajar belum resmi ditetapkan sebagai tersangka.

Ironis? Tentu saja. Menyebalkan? Sangat. Tapi lebih dari itu, kasus ini menunjukkan ada yang tidak beres dalam sistem kita.

Masalahnya Bukan Cuma di Pelaku, Tapi di Sistemnya

Ketika seseorang yang seharusnya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ini bukan sekadar masalah individu. Ini masalah sistem. Bagaimana seorang perwira tinggi bisa melakukan kejahatan seperti ini? Apa tidak ada mekanisme pengawasan yang ketat? Atau memang, di balik seragam dan pangkat, ada banyak hal yang selama ini ditutup-tutupi?

Kasus ini bukan pertama kalinya aparat kepolisian terlibat dalam tindak kejahatan. Sebelumnya, sudah ada berbagai kasus yang melibatkan oknum polisi—dari pemerasan, narkoba, hingga kekerasan terhadap warga sipil. Tapi tetap saja, reformasi di tubuh kepolisian seperti jalan di tempat.

Menurut CNN Indonesia, AKBP Fajar juga diduga terlibat dalam kasus narkoba, yang menyebabkan dirinya harus ditempatkan di tempat khusus di Mabes Polri. Ini menambah daftar panjang kelamnya catatan penegak hukum kita.

Pertanyaannya: bagaimana mungkin seseorang dengan masalah seperti ini bisa berada di posisi strategis dalam kepolisian?

UU Perlindungan Anak Sekadar Formalitas?

Indonesia sebenarnya punya undang-undang yang cukup ketat soal perlindungan anak. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak jelas-jelas mengatur sanksi tegas bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Ada ancaman pidana berat, bahkan dalam beberapa kasus bisa dikenakan hukuman mati.

Tapi apakah cukup? Tentu tidak. Regulasi saja tidak akan ada gunanya kalau implementasinya lemah. Faktanya, kasus kekerasan terhadap anak masih sering terjadi. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari tahun ke tahun.

Sialnya, kalau pelakunya rakyat biasa, hukumnya bisa tegas. Tapi kalau pelakunya punya jabatan, kasusnya bisa berlarut-larut. Ini bukan hanya soal ketidakadilan, tapi juga soal lemahnya komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Kepercayaan Publik Runtuh, Anak-anak Tak Aman

Kita tidak bisa melihat kasus ini sebagai kejadian tunggal. Ini lebih besar dari sekadar satu orang pelaku dan satu orang korban. Ini soal kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya melindungi mereka.

Masyarakat semakin skeptis terhadap kepolisian. Setiap ada kasus kriminal yang melibatkan polisi, rasa aman pun makin luntur. Bagaimana bisa rakyat percaya pada aparat, kalau yang seharusnya menjaga malah berbuat kejahatan?

Bagi korban dan keluarganya, luka yang ditinggalkan tidak akan sembuh begitu saja. Trauma psikologis bisa berdampak seumur hidup. Anak-anak seharusnya bermain dan belajar, bukan mengalami kekerasan dari orang yang seharusnya mereka hormati.

Lalu, Apa yang Harus Dilakukan?

Pemerintah dan kepolisian harus serius melakukan reformasi. Sudah cukup kasus-kasus seperti ini berlalu tanpa perubahan signifikan. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:

1. Perketat Rekrutmen dan Pengawasan di Kepolisian

Jangan sampai orang-orang yang punya masalah mental atau perilaku menyimpang bisa dengan mudah masuk ke institusi kepolisian.

2. Buka Transparansi Kasus yang Melibatkan Aparat

Masyarakat berhak tahu sejauh mana kasus seperti ini ditangani. Jangan ada lagi permainan di balik meja yang akhirnya hanya menghukum pelaku dengan "sanksi administratif".

3. Perberat Hukuman bagi Aparat yang Melanggar Hukum

Hukuman bagi aparat yang melanggar hukum harus lebih berat dibandingkan warga sipil biasa. Kenapa? Karena mereka seharusnya lebih paham hukum dan punya tanggung jawab lebih besar.

Kita Tidak Bisa Diam Saja

Kasus ini bukan hanya tentang seorang mantan Kapolres yang diduga mencabuli anak kecil. Ini adalah potret dari masalah yang lebih besar—kegagalan sistem dalam menegakkan hukum secara adil dan memberikan perlindungan bagi mereka yang rentan.

Jika tidak ada perubahan signifikan, maka jangan heran jika kasus serupa akan terus terjadi.

Pertanyaannya sekarang: Apakah kita akan terus diam?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun