Hubungan sipil-militer di Indonesia bukan perkara mudah untuk dibahas. Baru-baru ini saya membagikan opini saya di Kumparan (24/03/2025) berjudul “Revisi UU TNI: Membangun Kepemimpinan Nasional”. Tanggapan yang datang begitu beragam. Ada yang menyebutnya sebagai ide progresif yang membuka ruang kebijakan strategis baru. Tak sedikit yang merespon dengan kehati-hatiamn. Seolah-olah, diskusi ini membuka romantisme masa lalu yang masih menyisakan luka: dominasi ABRI, impunitas, dan ketidaknyamanan sipil yang belum sembuh.
Saya memahami sepenuhnya kegelisahan itu. Sejarah panjang keterlibatan militerdalam kehidupan sipil meninggalkan jejak dalam memori publik kita. Tetapi jika diskusi soal hubungan sipil-militer selalu dibatasi pada trauma masa lalu, bagaimana mungkin kita bisa merancang masa depan yang lebih baik? Tulisan ini saya hadirkan bukan sebagai pakar politik, melainkan sebagai warga negara yang percaya bahwa demokrasi membutuhkan keberanian untuk membuka ruang refleksi—termasuk dalam isu-isu yang sensitif sekalipun.
Trauma Sejarah dan Ketakutan yang Masih Ada
Hubungan sipil dan militer di Indonesia tak lepas dari sejarah panjang dominasi militer di masa Orde Baru. Konsep dwifungsi ABRI menjadikan militer hadir hampir di semua lini kehidupan, dari pusat hingga desa. Tak heran jika hingga kini, wacana keterlibatan militer dalam ranah sipil masih memicu trauma dan kecurigaan.
Isu penempatan perwira aktif, konflik bersenjata antara aparat, dan impunitas hukum sering membuka kembali luka lama. Reaksi emosional ini bukan tanpa dasar. Namun, pertanyaannya: apakah kita akan terus membiarkan masa lalu membekukan ruang kebijakan?
Reformasi telah berjalan. TNI telah bergeser menuju profesionalisme. Maka tantangannya kini adalah membedakan antara bayang-bayang sejarah dan kebutuhan hari ini. Kita perlu keberanian untuk berpikir jernih—agar kebijakan yang lahir bukan karena ketakutan, melainkan visi yang adil dan demokratis.
Gagasan Hubungan Inklusif: Bukan Subordinasi, tapi Integrasi Strategis
Hubungan sipil-militer yang inklusif bukan berarti membuka kembali pintu masa lalu yang penuh dominasi, apalagi mengabaikan prinsip demokrasi. Inklusif yang saya maksud adalah kemampuan negara untuk mengelola keterlibatan militer secara sah, terukur, dan strategis dalam konteks pembangunan nasional—tanpa melemahkan supremasi sipil. Bukan subordinasi yang kaku, bukan juga dominasi yang membahayakan, melainkan integrasi yang berbasis aturan main demokrasi.
Revisi Undang-Undang TNI yang membuka ruang penempatan prajurit aktif di jabatan sipil tertentu, harus dimaknai sebagai peluang untuk menata ulang. Artinya setelah revisi dilakukan, perlu segera dirumuskan regulasi teknis yang ketat—termasuk standar rekrutmen, analisis jabatan, dan mekanisme pengawasan publik. Penempatan bukan dilakukan karena pertimbangan politik atau simbolik, melainkan berdasar kebutuhan negara dan melalui proses yang terbuka serta berbasis kompetensi.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, keterlibatan institusi manapun, termasuk militer, harus tunduk pada prinsip meritokrasi dan akuntabilitas. Ini bukan kompromi terhadap demokrasi—justru inilah esensi demokrasi: semua kontribusi diatur dan dipertanggungjawabkan.
Dari Pemisahan Menuju Kesepahaman Sipil-Militer