Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Be There or Be Square

29 Mei 2020   18:16 Diperbarui: 29 Mei 2020   18:07 1769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
socialsciencespace.com

Sore kemarin, sembari menyesapi kopi setengah manis, di kedai yang tak jauh dari kostel yang saya sewa, seperti daun mimosa pudica yang sedang melayu, dahiku sedikit mengernyit mendengar mas Bas mengenalkanku kosakata yang, bagiku, benar-benar baru kudengar: be there or be square.

Sore itu, saat kopi dan jajanan kecil di meja kayu mulai habis, kami mendadak malah memulai membahas kebijakan "the new normal" yang digaungkan pemerintah yang menuai polemik dan menjadi topik hangat perbincangan publik. Dan, lantas, terlontarlah kosakata be there or be square itu.

Seperti sudah banyak diketahui, Presiden Jokowi mengutip pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), mengajak warga Indonesia untuk beradaptasi dan hidup berdampingan dengan Covid-19. Istilah kerennya: 'the New Normal', yakni kehidupan baru yang mengadaptasi situasi pascapandemi. Kehidupan yang menerima kenyataan.

Seperti juga sudah disampaikan sebelumnya, WHO juga mengatakan bahwa Covid-19 diyakini tidak akan pernah hilang dari bumi, seperti halnya HIV. Maka, mau atau tidak, suka atau tidak, kita memang harus mulai bersiap melihat dunia yang berubah.

Tetapi, apakah tulisan saya ini akan membahas (kembali) polemik the new normal itu?

Tidak. Sama sekali tidak.

Seperti judul di atas: saya hanya ingin sedikit membahas tentang kosakata yang, bagi saya, terdengar baru:  be there or be square.

"Be there or be square itu semakna dengan: kita harus memiliki rencana A dan rencana B," katanya mas Baskoro. "Jangan hanya diam dengan rencana A semata. Atau, malah, tidak punya rencana. Risiko itu tidak mungkin dihilangkan. Tetapi, risiko itu bisa dikendalikan."

"Atau bisa juga dimaknai sebagai apakah kita harus pergi atau melakukan sesuatu atau memilih hanya mempertahankan keadaan."

"Sebagian orang, atau bahkan banyak orang, tampak lebih senang dengan tidak melakukan apa-apa atau hanya mempertahankan keadaan. Atau bisa kita sebut dengan konvensional. Tidak punya rencana dan gamang," sambung mas Bas.

Mendengar kata-katanya mas Bas yang terakhir, entah bagaimana saya tiba-tiba mendadak ingat mas Pram, teman saya yang entah bagaimana kabarnya ia sekarang. Sedikit kisah tentang mas Pram sudah pernah saya tulis di artikel saya sebelumnya.

Seperti kisah yang kutulis dahulu, aku pernah merekam dengan baik semua kisah-kisahnya yang mengabarkan tentang rasa lelah karena pergolakan batinnya. Ia sebenarnya punya mimpi sungguh-sungguh ingin memperbaiki "nasibnya". Mas Pram adalah laki-laki yang tampan, pintar, lulusan universitas elit, tapi "lemah" pendiriannya.

Berkali-kali ia mengutarakan mimpinya bisa bekerja di perusahaan-perusahaan besar di luar negeri agar ia bisa mengenali dunia dan kisah-kisah yang baru. Dan, tentu saja perbaikan atas nasibnya. Tetapi, sayangnya, berkali-kali ia mengutarakan mimpi, berkali-kali pula mimpinya itu dikalahkan oleh rasa bimbangnya dan orang-orang di sekitarnya.

"Aku tak diperbolehkan jauh dari rumah, mas," dalihnya.

"Apakah mas Pram sudah memiliki rencana A dan rencana B?" tanyaku.

Pram menggeleng. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Seperti puluhan diam yang sebelumnya. Sudah kesekian puluh kali ia gamang.

Tetapi, pernah satu kali, aku mendengar jawaban sangat menarik dari mulutnya: "Mas, masa depan manusia kan milik Tuhan ...."

Saya kaget. Jika biasanya mas Pram terdiam, usai mendengar itu.. kini aku gantian terdiam bungkam.

"Kita memang harus memiliki rencana A dan rencana B. Sama halnya dengan Pemerintah," kata mas Bas mengakhiri obrolan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun