Atau, barangkali, kebahagiaan itu bisa juga saya temukan dari kisah Ros, sahabat saya yang lain.
Ayah Ros oleh dokter yang merawatnya, didiagnosa menderita berbagai macam penyakit karena kelebihan gula. Kata Ros, dokter sudah menyarankan agar ayahnya itu segera dioperasi. Tetapi, ayah Ros itu "keras kepala". Ia sedikitpun tak pernah mau mengikuti apa saran dokter.
Sejak ia divonis sakit dengan stadium parah oleh dokter, ayah Ros terus saja memaksa dirinya bekerja. Membantu tetangganya yang sedang memanen padi, menjadi tukang bangunan atau tenaga kerja serabutan di kampungnya.
Ros tidak tega dan kasihan dengan keadaan ayahnya. Maka, sejak ayahnya sakit, hampir seluruh gajinya ia kirimkan setiap bulan ke kampungnya. Untuk ayahnya yang sudah sakit-sakitan dan biaya untuk sekolah anaknya hingga sering kali tak ada uang tersisa di saku Ros.
Tidak itu saja, sejak ayahnya sakit, dua minggu sekali Ros juga pasti pulang ke kampungnya untuk melonggarkan dadanya yang sesak karena rindu ayahnya.
"Saya lelah. Tetapi, saya bahagia, mas", jawab Ros.
Pada kisah Frans dan Ros, saya (sekarang) seperti menjadi lebih mengerti tentang apa dan bagaimana "kebahagiaan" itu. Orang-orang yang didera bahagialah yang menciptakan format kebahagiaan bagi mereka sendiri.