Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Apakah Anda Bahagia atau Sekadar Senang?

20 Januari 2020   22:18 Diperbarui: 27 Januari 2020   19:37 835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar ilustrasi; https://www.success.com

Sebuah video pendek, sangat menarik (menurut pendapat saya), menghampiri timeline saya kemarin pagi. 

Video dari Dr. Robert Lustig, seorang ahli Endokrinologi Pediatrik dari Amerika. Lustig, di videonya itu menjelaskan pandangan menariknya tentang kesenangan dan kebahagiaan.

Menurutnya, kesenangan dan kebahagiaan itu tidak sama. Materi bisa mendatangkan kesenangan, sedangkan kebahagian tidak. Kesenangan itu sementara, sedangkan kebahagiaan itu sebaliknya; langgeng.

Kesenangan adalah fisikal dan sangat emosional, kebahagiaan adalah rohani dan spiritual.

"Menerima itu kesenangan, sedangkan kebahagiaan itu memberi," kata Lustig.

Dalai Lama, seorang spiritual dan guru umat Buddha Tibet, juga memiliki pandangan yang sama menariknya atau serupa dengan Lustig.

Menurut Dalai, kebahagiaan adalah terbebaskannya manusia dari segala belenggu penderitaan.

Dalai, lebih lanjut, mewanti-wanti bahwa kebahagiaan (happiness) itu berbeda dengan kesenangan dan kenikmatan (pleasure). Kebahagiaan adalah abadi dan non fisikal, sementara kenikmatan lebih sering hanya sesaat dan fisikal.

Awalnya, dulu, saya pikir, kebahagiaan adalah "sekadar" manifestasi seberapa besar rasa bersyukur. Demikianlah yang saya yakini sepanjang hidup saya, setidaknya, sampai akhirnya saya bertemu dengan Frans, di sebuah proyek Migas, di kampung yang jauhnya ribuan kilometer dari Jakarta. Sangat kampung sekali...

Frans, karyawan yang bekerja pada Kontraktor itu, membuat saya terpesona oleh kisah-kisahnya.

Frans yang hanya seorang karyawan bagian administrasi, yang bergaji sama dengan buruh pabrik atau UMR, ternyata adalah sarjana teknik nuklir, lulusan universitas sangat bergengsi di negeri ini. 

Ia, menurut cerita yang dikisahkannya, adalah orang pertama di kampungya yang bisa menjejakkan kaki hingga universitas. Kisahnya itu semakin membuatku terperanjat tak kepalang.

Pada laki-laki berumur 35 tahun itu (waktu itu), aku menjumpai cerita yang nyaris tak masuk akal. "Gaji saya hanya dua juta, pak," katanya.

Hah???!!!!

"Mas Frans bisa mendapatkan jauh dari itu. Puluhan kali lipat kalau mau..."

Kepadanya, saya lantas menceritakan gaji-gaji sangat "fantastik" yang diperoleh dari teman-teman saya yang bekerja di proyek-proyek minyak dan gas raksasa di luar negeri.

"Saya akan bantu mas Frans membuatkan CV ya?", tawar saya.

Frans menggeleng. Ia mengaku bahagia meski gajinya tak seberapa, karena, katanya, selama ia masih bisa terus merasakan momen-momen paling romantis dalam hidupnya; bercengkerama dan bertemu dengan anak-anaknya setiap hari, ia akan bahagia.

Dalam selimut udara pagi di kampungnya yang sangat sejuk, Frans biasa mengantarkan anak-anaknya sekolah, sebelum ia pergi ke tempatnya bekerja dengan sepeda.

"Saya bisa setiap hari melihati anak-anak saya, bercengkerama dan bahagia merasakan lengan saya disandari oleh tubuh-tubuh mungil mereka," kata Frans. "Itu kebahagiaan yang tidak bisa saya kisahkan."

Kesetiaan kepada keluarganya. Pengertian dan pengorbanan. Begitulah yang bisa saya simpulkan dari cerita-cerita yang meluncur teratur dari mulutnya.

Jujur, sekali lagi jujur saja, saya nyaris tidak akan bisa seperti dia....

Atau, barangkali, kebahagiaan itu bisa juga saya temukan dari kisah Ros, sahabat saya yang lain.

Ayah Ros oleh dokter yang merawatnya, didiagnosa menderita berbagai macam penyakit karena kelebihan gula. Kata Ros, dokter sudah menyarankan agar ayahnya itu segera dioperasi. Tetapi, ayah Ros itu "keras kepala". Ia sedikitpun tak pernah mau mengikuti apa saran dokter.

Sejak ia divonis sakit dengan stadium parah oleh dokter, ayah Ros terus saja memaksa dirinya bekerja. Membantu tetangganya yang sedang memanen padi, menjadi tukang bangunan atau tenaga kerja serabutan di kampungnya.

Ros tidak tega dan kasihan dengan keadaan ayahnya. Maka, sejak ayahnya sakit, hampir seluruh gajinya ia kirimkan setiap bulan ke kampungnya. Untuk ayahnya yang sudah sakit-sakitan dan biaya untuk sekolah anaknya hingga sering kali tak ada uang tersisa di saku Ros.

Tidak itu saja, sejak ayahnya sakit, dua minggu sekali Ros juga pasti pulang ke kampungnya untuk melonggarkan dadanya yang sesak karena rindu ayahnya.

"Saya lelah. Tetapi, saya bahagia, mas", jawab Ros.

Pada kisah Frans dan Ros, saya (sekarang) seperti menjadi lebih mengerti tentang apa dan bagaimana "kebahagiaan" itu. Orang-orang yang didera bahagialah yang menciptakan format kebahagiaan bagi mereka sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun