Mungkin sebagian dari kita sudah hampir (atau sengaja) lupa bahwa, dahulu, bukankah kita pernah berbagi beban, bahu membahu, memunguti lalu merangkai asa bersama? Kita kemudian berkomitmen dalam larik-larik sumpah pemuda yang lantang kita suarakan: "Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa."
Tidak ada yang berpertanyaan; "Siapa kamu? Apa agamamu?" atau "Dari mana asalmu?" Semua bersepakat untuk mengkreasi konsep nasion.
Kita kemudian memperbincangkan cara berjuang dan masa depan bangsa bersama-sama. Dan Tuhan sungguh maha Pemurah atas mahluqNya. Tuhan lalu memberikan anugrahNya yang tak terkira untuk negeri ini. Â
Tetapi, sayang, kita sekarang ternyata hampir (atau sengaja) lupa bahwa dahulu kita pernah berkomitmen.
"Negeri ini akan hancur. Kami muak karena terlalu banyak orang meninggalkan ideologi," begitu katanya.
Semua berlomba. Saling berkejar-kejaran dalam hiruk pikuk, menemukan sudut-sudut yang berbeda yang menyebalkan. Saling menghujat.
Perlukah Tuhan memberikan kita ujian negeri ini hancur dan porak poranda dahulu agar kita mengerti dan paham? Supaya kita bisa membuat komitmen lagi (yang kedua)?