Jejak kelam Dolly, lokalisasi yang pernah disebut-sebut sebagai yang terbesar se Asia Tenggara, kini tinggal sejarah.
Dahulu, dengan sorot lampu yang warna warni, hingar bingar musik yang menghentak dan asap yang mengepul-ngepul dari mulut, para wanita yang berdandan seronok dan berbedak tebal, tersenyum dan melambai-lambaikan tangan kepada setiap lelaki yang lewat. "Mari mampir mas," rayu salah satu dari mereka.
Tiap malam, dahulu, tempat itu riuh oleh hentakan musik dan manusia yang sedang tawar menawar.
Jika tertarik, maka segera terbangunlah transaksi ekonomi singkat seharga 100 ribu antara perempuan-perempuan seksi dan pelanggannya.
Jika siang, aktivitas kegiatan di kawasan Dolly itu terlihat cukup sibuk. Kegiatan di pasar, warung-warung, masjid, salon, hingga kafe mewarnai keseharian warga di kawasan tersebut.
Namun, sekali lagi, itu adalah cerita jaman dahulu, sebelum Dr.(H.C.) Ir. Tri Rismaharini, M.T, atau yang akrab kita sapa Ibu Risma menutup resmi lokalisasi itu sejak Juli 2014.
Sejak ditutup itu, Dolly pun menjadi berubah.
Banyak pertimbangan yang membuat Ibu Risma harus menutup kawasan itu. Anak-anak Surabaya, kata Ibu Risma, harus diselamatkan. Mereka punya kesempatan hidup normal yang sama seperti yang lainnya.
Tidak ada lagi kisah-kisah kelam dan menyedihkan yang dialami anak-anak yang lahir, tumbuh dan besar di kawasan Gang Dolly dan Jarak.
Sebagai pengganti mata pencaharian yang hilang, setelah Juli 2014 itu, Risma lalu mengadakan pelatihan-pelatihan. Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini, juga memberi bantuan modal hingga mantan penghuni lokalisasi bisa mandiri secara ekonomi.
Kini, setelah 4 tahun kawasan itu ditutup, puluhan jenis usaha dan industri kreatif tumbuh di daerah ini. Meski terlihat tumbuh, Risma tak berhenti dan terus berusaha mewadahi kegiatan-kegiatan positif warga agar dapat meningkatkan pendapatan mereka.