"Tapi, Anita malah mengajari saya. Seperti biasa, Ia terlalu sibuk dengan rupa-rupa dalil dari kitab suci?"
"Apakah setiap fenomena, kelakukan, kejahatan, selalu kita sebut dan kita tutup dengan jawaban; itu adalah takdir?"
"Dalil dan ayat adalah kebenaran langit! Anita selalu bilang begitu."
Baskoro mengambil kamera dari tas coklat. Itu kamera yang bagus, aku pikir. Di antara para pejalan kaki yang lalu lalang di trotoar Kota Tua kemarin...krik....krik, bunyi kamera tustel terdengar saat ia mengambil beberapa foto. Teman saya itu memang menyukai fotografi. Ingin saya bisa seperti dia. Mengabadikan sisi-sisi hidup yang berbeda dengan kamera.
Setelah beberapa kali mengambil gambar, Bas pun melanjutkan kisahnya. Orang jaman sekarang itu, kata Baskoro, terlalu mudah mencari yang salah daripada yang benar. Â Â
Ada yang senang memposting, tetapi malas membaca. Ada yang senang menyalahkan, tetapi tidak tahu cara memerbaikinya. Ada yang elegan tampil di depan khalayak, tetapi rapuh di rumahnya. Ada yang sangat kaya, tetapi miskin jiwa.
Manusia kerap lupa bahwa yang membedakan lurus dan tidak lurus, pintar atau tidak pintar, beriman atau tidak, itu bukan manusianya. Manusia itu hanyalah benda mati. Yang membuat manusia yang satu berbeda dengan manusia yang lain itu hanyalah akhlak, akal, iman yang benar, .... Yang semuanya itu adalah Anugrah Tuhan. Maka, jika sudah diberiNya akal, gunakanlah. Â
Semua itu, kata Baskoro, adalah paradoks hidup. Paradoks selalu ada, selama manusia itu berjiwa.
"Ada yang suka menulis, ada yang suka nyeletuk." Baskoro tertawa.
"Orang-orang sibuk mengeluh tentang kekurangan daripada sibuk mencari dimana kelebihannya."
Aku mengangguk setuju.