Sudah tiga hari belakangan ini, berita peringatan hari ibu tiba-tiba menjadi ramai. Keramaian itu disebabkan karena ustad Abdul Somad menyebutkan bahwa peringatan hari Ibu adalah tradisi barat dan kafir.
"Orang yang ikut merayakan hari Ibu, orang yang mengikuti tradisi kafir maka kafirlah dia," begitu kata ustad Abdul Somad.
Kita mencatat, polarisasi masyarakat sudah begitu rupa setelah agama dijadikan menu sehari-hari sejak dimulainya pilkada Jakarta. Bahkan, setelah pilkada itu sendiri usai, polarisasi masyarakat masih jelas kelihatan. Mengapa masyarakat terpolarisasi? Hal ini ditengarai antara lain karena masyarakat terbelah dan menjadi kelompok-kelompok dengan sekat yang bernama 'kamu bukan golonganku' dan 'kamu kafir'.
Mengatakan atau menyematkan 'kafir' pada orang atau kelompok lain kemungkinan besar akan membuat orang atau kelompok itu merasa tersinggung, marah dan lalu saling bermusuhan. Saya meyakini, orang Islam yang tidak pernah wudlu dan sholat sekalipun, pasti akan marah kalau disebut sebagai 'kafir!'. Apalagi yang jelas-jelas sudah menjalankan rukun islam dengan baik.
Ah .... sudahlah.
Saya enggan berdebat. Saya malas mencari definisi, tafsirnya, referensinya, membuka-buka buku untuk mencari pandangan ulama fiqih, histori, segala dalil dan ushul fiqh untuk membahas apa itu kafir. Jutaan kalimat pun tak akan bakal sanggup menuntaskannya.
Saya hanya ingin menulis tentang 'keributan' itu dari jendela yang lain.
Kalau dipikir-pikir, membaca komentar-komentar warganet, kadang-kadang malah membuat saya tertarik dibandingkan membaca berita utamanya (tentang hari ibu).
"Gak harus bilang haram kali. Medsos juga budaya kafir...internet produk kafir. Haram juga dong?"
"Okelah. Masalahnya mungkin ada di sebutan 'Ibu'. Supaya tidak terindikasi kafir, maka gantilah sebutan inu menjadi 'Selamat hari Ummi'...."
"Lha kasian anak-anak bang! Nanti mimik ASI berganti nama dong!!" kata warga lainnya.