Mohon tunggu...
Taufikurrahman
Taufikurrahman Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Maslahah di Balik Batasan Konsumsi dalam Syariat

17 Februari 2019   12:14 Diperbarui: 17 Februari 2019   12:42 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pakar ekonimi Sekaliber Marshal menyatakan bahwa kehidupan di dunia ini dikendalikan oleh dua kekuatan besar, yaitu ekonomi dan agama.

Suatu negara dikatakan kuat apabila perekonomiannya juga kuat, karena tidak mungkin suatu negara akan makmur jika perekonomiannya lemah, masyarakatnya terjerat kemiskinan, pembangunan infrastruktur lambat, dan lain sebagainya. Maka untuk mengatasi masalah-masalah tersebut perlu adanya kekuatan ekonomi yang hebat.

Namun suatu bangsa tidak akan pernah mungkin mencapai kesejahteraan yang hakiki atau yang biasa kita kenal dengan falah jika hanya memiliki ekonomi yang kuat namun tidak didukung oleh kekuatan keimanan (agama) karena falah adalah kesejahteraan lahiriah yang dibarengi kesejahteraan batiniah (al-shalah).

Contoh kecilnya saja di bidang konsumsi, syariat Islam melarang kita mengkonsumsi makanan yang didapatkan dari hasil mencuri, mengapa demikian? Karena hal tersebut akan mengganggu keamanan dan kesejahteraan orang lain, buat apa perekonomian hebat jika kesejahteraan tidak dimiliki.

Ketika kita hubungkan dengan pendapat marshal maka dapat disimpulkan bahwa sekuat apapun perekonomian di negara tersebut jika tidak ada batasan-batasan dalam berprilaku khususnya dalam konsumsi, maka kesejahteraan tidak mungkin tercapai.

Sifat manusia yang rakus akan membuat mereka berbuat sekehendak hati mereka, apapun yang mereka inginkan akan mereka lakukan tanpa memperdulikan orang lain, namun syariat memberi batasan dalam konsumsi dengan tujuan agar tercapai kemaslahatan.


Mereka yang memiliki ekonomi lemah dilarang mengambil harta saudaranya yang kaya tanpa seizin pemiliknya, namun yang kaya juga tidak boleh seenaknya mengkonsumsi kekayaannya sendiri tanpa memperdulikan saudaranya yang memiliki nasib kurang beruntung, di dalam harta si kaya ada hak mereka yang kurang beruntung, begitulah syariat mengatur kehidupan manusia, subhanallah.

Secara garis besar batasan konsumsi yang pertama yaitu kita dilarang mengkonsumsi barang yang haram, kita melihat batasan konsumsi dalam surat Al-Baqarah ayat 168-169:

"Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaitan adalah musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya syaitan itu banya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui."

 Sedangkan batasan terhadap minuman merujuk pada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 90:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.

Batasan konsumsi dalam syariat tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja namun juga mencakup pada jenis-jenis komoditi lainnya. Dalam tafsir al-misbah Bapak Quraish Shihab menjelaskan bahwa komoditi yang diharamkan syariat itu ada dua macam, yaitu haram karena zatnya, seperti babi, anjing, bangkai, darah, dan yang haram karena sesuatu yang bukan disebabkan oleh zatnya seperti karena cara memperolehnya yang tidak halal misalnya makanan yang tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk dimakan atau barang yang yang tidak diizinkan oleh pemiliknya untuk digunakan, barang yang merugikan diri sendiri dan orang lain, dan dampak negatif lainnya.

Bukan hanya aspek halal haram saja yang menjadi batasan dalam konsumsi. Termasuk pula yang perlu diperhatikan adalah aspek yang baik, yang cocok, yang bersih, dan yang tidak menjijikkan. Oleh sebab itu syariat menganjurkan untuk memilih komoditi mana yang cocok dan bermanfaat bagi kita dari semua komoditi yang diperbolehkan.

Kemudian yang termasuk batasan konsumsi adalah larangan isrof atau berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi suatu barang. Isrof dilarang dan diharamkan oleh syariat sekalipun komoditi yang kita konsumsi adalah halal. Namun demikian, islam tetap memperbolehkan seorang muslim menikmati karunia allah selama itu masih dalam batas kewajaran. Dalam Al-Quran surat Al-A'araf ayat 31 allah berfirman:

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan."

Selanjutnya difirmankan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 87:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."

Artinya adalah setiap kebutuhan hidup harus dipenuhi secara wajar agar kelangsungan hidup berjalan dengan baik. Bila kebutuhan hidup dipenuhi secara berlebih-lebihan akan menimbulkan dampak negatif seperti egoisme, sombong, dan tunduk pada hawa nafsu.

Dari sinilah kesejahteraan yang islami dibangun. Kesejahteraan tidak dapat diukur dengan kemewahan yang didapatkan. Namun, kesejahteraan dapat diukur dengan terpenuhinya kemaslahatan lima kebutuhan dasar yang disokong oleh kelengkapan hajiyat dan tahsiniyat.

Daftar pustaka:

Pusat Pengkajian dan pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. 2008, Ekonomi Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Pradja, Juhaya. 2012, Ekonomi Sayariah, Bandung: Pustaka Setia.

Muflin, Muhammad. 2006, Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Kahf, Monzer. 1979, Ekonomi Islam (telaah analitik terhadap fungsi sistem ekonomi islam). Diterjemahkan Oleh: Machnun Husein,Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suprayitno, Eko. 2005, Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun