Joko Tingkir -- Bagian 26: Bayangan dari Jipang
Subuh baru saja meneteskan embunnya di tepi Panarukan ketika Karebet terbangun dari tidur yang pendek. Angin laut membawa hawa asin bercampur aroma tanah lembap. Dari kejauhan, kokok ayam bersahut-sahutan, seperti menyambut hari yang akan panjang.
Ia duduk di depan tenda, menatap garis cahaya yang muncul di balik cakrawala. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik ketenangan itu, pikirannya sedang menimbang. Surat ancaman dari Jipang semalam masih menari-nari di kepalanya. "Bayanganmu di Demak." Kata-kata itu bukan sekadar peringatan; itu jebakan.
Ki Wuragil menghampiri, membawa kendi air dan dua potong singkong rebus. "Kanjeng, utusan dari Demak telah tiba. Ia menunggu di bawah pohon beringin."
Karebet menatap sebentar, lalu berdiri. "Akhirnya, angin barat pun datang."
Di bawah pohon beringin itu, berdiri seorang lelaki berusia empat puluh tahunan dengan jubah biru tua, wajahnya datar tanpa ekspresi. Ia menunduk hormat ketika Karebet datang.
"Aku Tumenggung Wiraguna, utusan dari Keraton Demak," katanya singkat. "Sultan memerintahkan agar Senopati segera kembali ke istana. Ada hal yang perlu dijelaskan."
Nada suaranya kaku, nyaris seperti membaca perintah. Karebet bisa merasakan hawa yang tak biasa. Ia menatap Wiraguna lekat-lekat --- orang ini bukan pengantar kabar semata, melainkan juga pengukur sikap.
"Baik," kata Karebet tenang. "Panarukan telah tenang. Aku akan berangkat sore ini."
Wiraguna menunduk lagi, tapi matanya sekilas menyiratkan sesuatu --- curiga, mungkin juga dingin. Setelah ia pergi, Ki Wuragil mendekat. "Kanjeng, mereka mulai meragukan paduka."