Kami semua tertawa. Bukan soal siapa yang membayar, tapi karena momen itu begitu spontan --- seperti masa lalu kami, penuh kehangatan sederhana yang tak bisa dibeli. Imelda memang kebetulan sedang berada di Bali, tanpa janji akan datang, tapi ternyata justru jadi bintang kecil sore itu.
Obrolan Lintas Zaman
Di sela-sela makanan, obrolan melintasi waktu: dari kisah kantor di tahun 1980-an, perjalanan dinas ke luar negeri, hingga cerita keluarga masing-masing. Ada yang kini sudah punya cucu, ada yang masih aktif bekerja, dan ada pula yang mulai menikmati masa tenang di rumah.
Tapi semuanya masih punya semangat yang sama --- rasa ingin tahu, rasa humor, dan tentu saja rasa sayang terhadap kenangan lama.
Satu hal yang terasa kuat di antara semua itu adalah kesadaran bahwa perjalanan hidup memang tak bisa ditebak. Dalam pertemuan seperti ini, semua perbedaan melebur. Yang dulu atasan kini bisa bercanda dengan mantan staf tanpa jarak; yang dulu pemalu kini paling cerewet. Mungkin inilah keajaiban reuni yang tidak resmi --- tanpa struktur, tapi penuh makna.
Sebelum beranjak dari meja makan, saya sempat bertanya pelan kepada Bu Dhani, "Apa arti Batan Bekul?" Bu Dhani tersenyum, lalu menjawab, bahwa dalam bahasa Bali, batan itu artinya batang, dan bekul itu melengkung atau padat --- semacam batang yang kuat tapi lentur. Saya mengangguk, membayangkan pohon tua di tepi sawah yang tetap berdiri meski diterpa angin.
Mungkin maksud peniliknya adalah bahwa makanan di sini tetap asli, kuat cita rasa Bali, tapi bisa menyesuaikan lidah siapa saja.
Rumah di Tepi Pantai