Karebet tidak menghunus senjata, tidak pula melukai lebih jauh. Ia hanya berdiri tegak, menatap lawannya dengan sorot mata yang dalam. "Aku tidak datang untuk membunuhmu, Jiongh. Aku datang untuk menunjukkan bahwa Jipang tak bisa menaklukkan rakyat dengan rasa takut. Pergilah, bawa pesanku pada Arya Penangsang. Demak tidak mencari perang, tapi juga tidak akan gentar menghadapinya."
Sunyi kembali menyelimuti alun-alun. Jiongh, terengah dan terhina, bangkit dengan sisa tenaganya. Dengan wajah muram ia meraih kerisnya, lalu mundur, meninggalkan Panarukan bersama para pengikutnya.
Di belakang Karebet, prajurit Demak bersorak, mengangkat tombak tinggi-tinggi. Tapi Karebet hanya mengangkat tangannya, memberi tanda agar mereka tenang. "Kemenangan sejati bukan ketika lawan jatuh, tapi ketika rakyat bisa bernapas lega."
Rakyat Panarukan pun berlutut, memberi hormat. Hari itu, nama Karebet semakin harum, bukan hanya sebagai pendekar, tapi sebagai pemimpin yang tahu kapan harus menahan pedang.
Bersambung...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI