Joko Tingkir -- Bagian 21: Panarukan yang Dikepung Bayang-bayang
Fajar baru saja menyingkap cakrawala ketika Karebet memasuki Panarukan. Kota pelabuhan itu tampak murung. Jalanan yang biasanya ramai dengan pedagang ikan dan kain dari kapal-kapal, kini lengang. Hanya beberapa orang berwajah cemas yang mengintip dari balik jendela bambu rumahnya. Di balai kota, panji hitam dengan lambang Jipang berkibar angkuh, berderai mengikuti arah angin laut.
Karebet melangkah masuk ke alun-alun Panarukan dengan langkah mantap. Prajuritnya berbaris rapi di belakangnya, tombak tegak lurus, mata penuh kewaspadaan. Di hadapannya berdiri sekelompok orang berbaju hitam, dengan wajah keras. Di tengah mereka, seorang lelaki bertubuh tegap, bersorban merah darah, menghunus keris panjang yang menggantung di pinggangnya.
"Aku utusan Jipang," suaranya berat, menggetarkan. "Namaku Jiongh, tangan kanan Arya Penangsang. Siapa berani mengaku dari Demak, hadapilah aku di sini."
Karebet maju selangkah, menundukkan kepala sebentar sebagai tanda hormat, lalu menatap lurus mata lawannya. "Aku Karebet, utusan Demak sekaligus panglima pasukan. Kami datang bukan untuk mengobarkan api, tapi untuk menyalakan pelita bagi rakyat Panarukan."
Jiongh tertawa pendek, suara tawanya seperti cambuk yang menyambar. "Pelita? Yang kulihat hanya obor kecil yang akan padam diterpa angin Penangsang. Kau pikir Demak masih punya wibawa di timur ini?"
Prajurit Demak yang mendengar ejekan itu gemetar menahan amarah. Namun Karebet mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka diam. Sorot matanya dingin, tapi kata-katanya mengalir tenang.
"Wibawa tidak ditentukan oleh panji yang dikibarkan, Jiongh. Wibawa lahir dari keberanian melindungi rakyat yang tak bersenjata. Jika Jipang datang membawa ketakutan, maka Demak akan datang dengan perlindungan."
Sorot mata Jiongh menyipit, tangannya menyentuh gagang keris. "Kata-kata indah tidak akan menghentikan mata tombak. Arya Penangsang menunggumu, Karebet. Dan aku akan jadi pintu ujian pertamamu."
Suasana alun-alun menegang. Burung-burung camar yang beterbangan dari pelabuhan mendadak sunyi, seakan ikut menyaksikan duel kata-kata yang sebentar lagi bisa berubah menjadi duel senjata.