Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Hachiko, Palestina, dan Gadis Lolita di Shibuya

25 September 2025   21:30 Diperbarui: 25 September 2025   21:30 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di shibuya: dokpri 

Gadis Lolita: dokpri
Gadis Lolita: dokpri

Saya berdiri di antara kerumunan itu, memperhatikan poster, mendengar megafon. Dan di tengah riuh itu, pandangan saya terpaku pada dua gadis berbaju pink. Warna pakaian mereka kontras dengan lautan hijau, merah, dan hitam. Wajahnya ceria, bibir merah, pipi berbedak tebal. Sesekali jari tangannya membentuk huruf V: tanda damai.

"Itu gadis dengan Lolita Fashion," kata istri saya. Gaya busana yang disebut Rorta Fasshon di Jepang, terinspirasi Eropa abad ke-18--19. Roknya mengembang, penuh renda, pita, stocking, dan aksesori imut. Selain pink, ada juga putih, pastel, atau warna mencolok. Sekilas, mereka mirip boneka hidup. Istri saya bahkan sempat berfoto bersama dengan latar belakang demo Palestina---kontras yang unik.

Suasana di shibuya: dokpri 
Suasana di shibuya: dokpri 

Suasana makin ramai. Saya menoleh ke papan iklan besar, salah satunya dari Uber Eats dengan tulisan Jepang:

Minogasenai nara, Uba itsu de, in janai?
("Kalau tidak mau ketinggalan, bagaimana kalau pakai Uber Eats?").
Langit sore memantul di kaca-kaca gedung tinggi. Tulisan (Shibuya Station) tampak jelas di sisi kiri. Lalu, tibalah saat yang selalu ditunggu: lampu lalu lintas Shibuya Crossing berubah hijau.

Gelombang orang dari segala arah menyeberang serentak. Gadis berbaju pink itu ikut hanyut bersama ratusan langkah lain. Dari tempat saya berdiri, pemandangan itu seperti koreografi kota: kacau tapi rapi, riuh tapi indah. Saya pun ikut menyeberang, dan sempat melihat sekali lagi gadis itu sebelum ia lenyap ditelan arus manusia. Ada rasa aneh, seperti bertemu tokoh cerita yang muncul sekali lalu menghilang.

Shibuya crossinh: dokpri 
Shibuya crossinh: dokpri 

Shibuya memang seperti itu. Ia bukan sekadar persimpangan jalan, tapi persimpangan kisah. Di sini, kehidupan sehari-hari bercampur dengan politik global, pertemuan singkat bercampur dengan kenangan lama, dan segalanya bergerak cepat hingga hanya tersisa sekelebat momen.
Dan tiba-tiba, pikiran saya melayang jauh, ke tempat lain yang jauh lebih sunyi: Aoyama Cemetery. Delapan tahun lalu, saya pernah berjalan di antara pohon rindang di pemakaman itu. Tidak ada layar neon, tidak ada yel-yel demo, hanya desir angin menyapu dedaunan.
Di sanalah saya menemukan makam Hachik. Sederhana, bersih, berdampingan dengan nisan Profesor Ueno---tuannya yang dulu ia tunggu setiap sore di Shibuya. Saya berdiri lama di hadapan makam itu. Bunga segar terletak rapi, tanda bahwa kisah kesetiaan Hachik masih terus diingat.

Kontras itu begitu jelas: Shibuya yang riuh, penuh crossing dan demo, dan Aoyama yang hening, tempat Hachik beristirahat. Dua dunia berbeda, tapi diikat oleh kisah yang sama.

Bagi saya, setiap kali berdiri di depan patung Hachik di Shibuya, saya juga teringat makamnya di Aoyama. Patung itu adalah wajah publik---ikon kota, tempat orang berfoto. Makam itu adalah wajah pribadi---sunyi, reflektif. Saya beruntung pernah menyentuh keduanya: riuh Shibuya hari ini, dan sunyi Aoyama delapan tahun lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun