Pemerintah tetap berperan, tetapi lebih sebagai penjamin stabilitas ekonomi daripada penyedia layanan publik penuh.
Refleksi untuk Indonesia: apakah kita ingin meniru sistem seperti ini? Mungkin tidak sepenuhnya cocok. Dengan tingkat ketimpangan yang masih tinggi, membiarkan rakyat bersaing sendiri tanpa perlindungan negara justru bisa memperlebar jurang kaya-miskin.
Jepang: Disiplin Fiskal, Tantangan Populasi
Jepang punya cerita unik. Setelah hancur akibat Perang Dunia II, Jepang bangkit dengan disiplin fiskal dan investasi besar pada pendidikan serta teknologi. Pajak digunakan untuk membangun industri, dan belanja publik diarahkan pada infrastruktur modern.
Namun kini Jepang menghadapi masalah baru: populasi menua. Belanja pensiun dan kesehatan melonjak, sementara basis pajak menyempit karena angkatan kerja berkurang. Akibatnya, utang publik Jepang mencapai lebih dari 200% PDB---tertinggi di dunia.
Refleksi untuk Indonesia: kita masih punya bonus demografi, tetapi kalau tidak dikelola dengan baik, kita bisa menghadapi masalah serupa di masa depan. Kebijakan fiskal harus memikirkan jangka panjang, bukan hanya kepentingan lima tahunan.
Tiongkok: Fiskal Sebagai Alat Strategis
Tiongkok menggunakan kebijakan fiskal sebagai senjata pembangunan. Pajak relatif rendah untuk mendorong investasi, sementara belanja negara diarahkan pada infrastruktur masif: jalan tol, kereta cepat, pelabuhan, energi.
Selain itu, pemerintah Tiongkok juga berani mengambil utang besar untuk membiayai proyek jangka panjang. Kritiknya, sebagian proyek menjadi white elephant (gajah putih) yang tidak produktif. Namun dalam banyak hal, strategi ini berhasil membuat Tiongkok menjadi ekonomi terbesar kedua dunia.
Refleksi untuk Indonesia: pembangunan infrastruktur penting, tetapi harus disertai perencanaan matang. Jalan tol atau kereta cepat harus benar-benar memberi manfaat ekonomi, bukan sekadar monumen politik.
Kolombia dan Amerika Latin: Pajak Lemah, Ketimpangan Tinggi