Kebijakan fiskal dalam kacamata klasik? Sesedikit mungkin. Pajak rendah, defisit harus dihindari, anggaran sebaiknya seimbang. Negara hanya perlu menyediakan fungsi dasar: hukum, keamanan, dan sedikit infrastruktur.
Bagi mahasiswa yang menyukai logika sederhana, teori klasik terasa meyakinkan. Tapi sejarah berkata lain. Pada 1930-an, dunia dihantam Depresi Besar. Pasar dibiarkan berjalan sendiri ternyata justru membuat pengangguran massal.
Keynesianisme: Negara Harus Turun Tangan
John Maynard Keynes hadir dengan pandangan berbeda. Menurutnya, ketika ekonomi lesu, masyarakat dan pelaku usaha enggan belanja. Kalau semua menahan diri, permintaan agregat anjlok, produksi turun, dan pengangguran melonjak.
Solusinya? Pemerintah harus berani belanja besar-besaran. Infrastruktur dibangun, proyek digenjot, gaji pegawai dinaikkan, bahkan kalau perlu pemerintah membuat defisit. Tujuannya bukan sekadar menggerakkan ekonomi, tetapi juga mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Keynes juga memperkenalkan konsep multiplier effect: setiap rupiah yang dibelanjakan pemerintah akan memicu belanja tambahan di sektor lain, sehingga dampaknya berlipat ganda.
Di kelas kebijakan publik, teori Keynesian biasanya jadi favorit karena terasa relevan dengan kondisi negara berkembang: ada kemiskinan, ada pengangguran, maka negara perlu hadir.
Monetaris dan Kritik terhadap Fiskal
Namun sejarah tidak berhenti di Keynes. Pada 1970-an, banyak negara maju menghadapi stagflasi: inflasi tinggi bersamaan dengan pengangguran. Teori Keynesian dianggap gagal menjawab. Milton Friedman dan kaum Monetaris masuk dengan gagasan bahwa yang terpenting bukanlah belanja pemerintah, melainkan jumlah uang beredar.
Mereka menekankan disiplin fiskal: defisit harus dikendalikan, pajak jangan terlalu tinggi agar insentif investasi tetap ada. Fiskal tetap penting, tetapi jangan sampai jadi alat politik yang merusak stabilitas moneter.
Di Indonesia sendiri, semangat monetaris tercermin dalam aturan defisit anggaran maksimal 3% dari PDB yang kita warisi sejak Orde Baru. Aturan ini membuat APBN relatif terkendali, meski di sisi lain membatasi ruang gerak pemerintah dalam situasi krisis.