Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Antara Kumis dan Catatan Orang Gila, Eros dan Lu Xun Menyapa Zaman

23 September 2025   14:21 Diperbarui: 23 September 2025   14:21 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya adalah penggemar film, dan tentu saja pernah menonton   film Badai Pasti Berlalu yang ditayangkan pada tahun 1977, hampir setengah abad lalu.  Kala iyi Christine Hakim, Selamet Rahardjo, Roy Marten merupakan bintang bintang yang merajai layar perak di negeri ini.  Dan tentu saja kita tidak boleh lupa dengan sosok penata musik dalam  film ini yaitu Eros Djarot, Chrisye, dan kawan-kawan. Nah sekarang kita akan mencoba mencari benang merah yang menghubungkan  Eros dengan seseorang di negeri seberang. Keduanya memiliki kumis yang menawan.

Ada semacam garis tipis yang sering kali menghubungkan tokoh-tokoh dari lintas negara dan lintas zaman. Mereka tidak pernah bertemu, mungkin tidak pernah membaca atau mendengarkan karya satu sama lain, bahkan tidak tahu bahwa kelak nama mereka akan disejajarkan. Tapi ada sesuatu dalam sikap hidup, dalam pilihan untuk berdiri di jalur yang keras kepala, yang membuat keduanya terasa seperti berada dalam satu keluarga spiritual. Begitulah jika kita bicara tentang Erros Djarot dari Indonesia dan Lu Xun dari Tiongkok.

Badai Pasei Berlalu: skrinsyut 
Badai Pasei Berlalu: skrinsyut 

Sekilas mereka tampak berbeda. Erros lahir dari rahim republik muda Indonesia yang baru saja melepaskan diri dari kolonialisme, sedang mencari bentuk demokrasi, dan penuh intrik politik. Lu Xun lahir lebih dulu, di Tiongkok awal abad ke-20, di tengah keruntuhan Dinasti Qing, perlawanan terhadap feodalisme, dan kegelisahan modernitas. Jarak waktu mereka puluhan tahun, jarak ruang mereka ribuan kilometer. Tapi jika melihat ke dalam jiwa keduanya, kita menemukan pola yang mirip: seniman yang tidak pernah puas hanya dengan keindahan karya, karena bagi mereka seni selalu bersinggungan dengan politik, dengan penderitaan rakyat, dengan suara yang terabaikan.

Erros dikenal publik Indonesia lewat musiknya. Album Badai Pasti Berlalu bukan sekadar karya pop, melainkan pernyataan zaman: tentang luka, harapan, dan cara bangsa ini bertahan dari badai sosial. Film-filmnya, seperti Tjoet Nja' Dhien, tidak berhenti di level estetika, tapi menghidupkan kembali roh perlawanan. Di luar itu, Erros juga seorang Marhenis sejati, seorang pemegang teguh ajaran Bung Karno. Ia pernah berada dekat dengan lingkaran Megawati, tapi hubungan itu akhirnya pecah karena Erros tidak mau tunduk pada pragmatisme politik. Ia lebih memilih jadi ideolog yang berdiri di luar pagar istana, ketimbang menjadi pejabat yang nyaman tapi kehilangan marwah.

Eros Djarot: skrinsyut 
Eros Djarot: skrinsyut 

Lu Xun menempuh jalan berbeda tapi dengan gema yang sama. Ia awalnya belajar kedokteran di Jepang, tapi berhenti setelah sadar bahwa mengobati tubuh tak cukup jika jiwa rakyat tetap sakit oleh feodalisme dan kebodohan. Ia lalu memilih pena sebagai senjata. 

Cerpen-cerpennya seperti Catatan Harian Seorang Gila dan Kisah Nyata Ah Q adalah pukulan telak terhadap tradisi usang yang menindas rakyat kecil. Lu Xun tidak pernah duduk di kursi pejabat tinggi, ia tidak masuk ke lingkar kekuasaan partai, tapi suaranya begitu menggema hingga setelah wafat, Partai Komunis Tiongkok menjadikannya semacam pahlawan budaya.

Catatan Haran : skrinsyut 
Catatan Haran : skrinsyut 

Di sinilah persinggungan keduanya: sama-sama seniman yang menolak jinak. Eros  bisa saja diam, hidup tenang sebagai musisi atau sutradara, tapi ia memilih bersuara tentang marhaenisme, tentang bagaimana cita-cita Bung Karno tidak boleh dikhianati. Lu Xun pun bisa saja sekadar jadi dokter atau penulis sastra halus, tapi ia memilih jalur yang lebih berisiko: menulis kritik sosial yang membuatnya dibenci penguasa. Mereka tahu harga yang harus dibayar: terbuang dari pusat kuasa, tidak pernah masuk ke dalam lingkaran yang nyaman, tapi justru di sanalah letak integritasnya.

Kumis keduanya menjadi semacam simbol yang mungkin hanya kebetulan yang unik.  Apalagi amat jarang orang Tiongkok yang memelihara kumis . Bagi Erros, kumis bukan hanya gaya, tapi juga menegaskan persona "intelektual keras kepala" yang tidak mau tunduk. Bagi Lu Xun, kumis tipisnya sering muncul dalam foto klasik, seolah ingin berkata bahwa di balik wajah kalem itu ada pikiran yang tajam seperti pisau. Kumis hanyalah detail, tapi detail sering kali menjadi lambang: orang mengingat wajah keras kepala dengan mudah lewat sapuan bulu di atas bibir.

Yang membuat mereka semakin sejajar adalah pilihan untuk berpihak pada rakyat kecil. Erros dengan lantang menyebut dirinya Marhenis sejati, setia pada wong cilik meskipun itu berarti menjauh dari pusat partai. Lu Xun menulis tentang petani miskin, pemuda putus asa, dan perempuan tertindas, meski itu membuatnya dianggap pengacau. Mereka sama-sama memilih rakyat di atas karier.

Sejarah kadang memperlakukan orang-orang seperti Erros dan Lu Xun dengan cara yang ironis. Dalam hidup, mereka sering dipinggirkan, dilabeli terlalu kritis, bahkan dianggap duri. Tapi setelah wafat atau setelah jarak waktu cukup jauh, karya mereka dipuja, namanya dijadikan simbol, dan penguasa yang dulu menyingkirkan mereka ikut bangga menyebut nama mereka. Lu Xun dijadikan ikon revolusi Tiongkok, Erros selalu dikenang dalam sejarah musik dan film Indonesia sebagai pencipta karya besar yang tak lekang. Seolah-olah zaman ingin meminta maaf kepada mereka, tapi tentu saja maaf itu selalu datang terlambat.

Ada pepatah  yang mengatakan, "Pena lebih tajam daripada pedang." atau The pen is mightier than the sword. Ini adalah pepatah metonimik yang pertama kali diungkapkan oleh penulis Britania Raya Edward Bulwer-Lytton pada  tahun 1839.

Dalam kehidupan Erros dan Lu Xun, pepatah itu nyata. Pedang bisa menaklukkan lawan di medan perang, tapi pena bisa mengubah arah bangsa. Dan meski keduanya tidak pernah duduk di kursi kekuasaan, warisan mereka justru lebih tahan lama daripada nama-nama pejabat yang silih berganti di istana.

Mungkin itu yang membuat kita perlu menengok kembali sosok seperti Erros Djarot dan Lu Xun. Mereka mengingatkan kita bahwa seniman bukan sekadar penghibur, tapi bisa menjadi ideolog, penggerak, bahkan duri bagi kekuasaan. Mereka menunjukkan bahwa keindahan seni tidak pernah netral, selalu membawa sikap. Dan mereka mengajarkan bahwa kadang lebih mulia berdiri di luar pagar istana dengan kepala tegak, daripada duduk di kursi empuk dengan hati yang tunduk.

Pada akhirnya, baik di Jakarta maupun di Beijing, pada abad ke-20 maupun abad ke-21, kisah orang-orang seperti Erros dan Lu Xun selalu relevan. Mereka adalah bukti bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh para kaisar, jenderal, atau presiden, tapi juga oleh penyair, musisi, dan penulis yang berani berkata tidak.

Jika suatu hari Anda  punya kesempatan jalan-jalan  ke Beijing, jangan lupa mampir ke Museum Lu Xun (Lu Xun  Junianguan). Mengapa tempat itu penting dan apa maknanya?
Museum Lu Xun bukan cuma tempat mengoleksi barang-barang, surat-surat, foto-foto, ataupun barang pribadi Lu Xun. Ia adalah ruang untuk merasakan atmosfer zaman di mana kritik dan kecemasan terhadap tradisi dan politik masih dianggap pemberontakan.

Di dalam museum, Anda bisa melihat bagaimana Lu Xun berpikir --- bagaimana ia memilih jalannya sendiri saat dokter menjadi pilihan awal, tapi kemudian ia memilih menjadi "penulis yang membangunkan orang". Bukti bahwa kritik sosial, sastra, dan intelektual bisa menyentuh kehidupan rakyat kecil.

Museum itu juga jadi saksi bisu bahwa orang seperti Lu Xun tak selalu punya tempat dalam lingkar kekuasaan, tapi warisannya tetap hidup dalam buku-buku dan pemikiran.

Bagi seseorang seperti Erros Djarot, yang juga menolak menjual idealisme demi jabatan, mengunjungi museum Lu Xun bisa memperkuat keyakinan bahwa suara independen tetap mungkin menggetarkan waktu.

Jadi, kalau Anda ke Beijing, selain menikmati Great Wall, Kota Terlarang, dan Tiananmen, luangkan waktu untuk ke museum Lu Xun. Berdiri di ruang yang pernah dihuni pemikiran yang dipandang membahayakan oleh rezim, baca karya-karyanya langsung, pegang benda-benda yang pernah disentuhnya, dan biarkan hati Anda terhubung dengan sejarah yang tak pernah bisa dibungkam sepenuhnya.
Karena di sanalah kita bisa pulang sedikit lebih ringan, bahwa suara kritis, sekalipun terpinggirkan, tetap abadi --- seperti kumis kecil di wajah: tampak sederhana, tapi sulit dihapus.

Semoga suatu saat nanti akan ada museum untuk Eros Djarot, Slamet Rahardjo atau bahkan Christine Hakim dan Teguh Karya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun