Kumis keduanya menjadi semacam simbol yang mungkin hanya kebetulan yang unik. Apalagi amat jarang orang Tiongkok yang memelihara kumis . Bagi Erros, kumis bukan hanya gaya, tapi juga menegaskan persona "intelektual keras kepala" yang tidak mau tunduk. Bagi Lu Xun, kumis tipisnya sering muncul dalam foto klasik, seolah ingin berkata bahwa di balik wajah kalem itu ada pikiran yang tajam seperti pisau. Kumis hanyalah detail, tapi detail sering kali menjadi lambang: orang mengingat wajah keras kepala dengan mudah lewat sapuan bulu di atas bibir.
Yang membuat mereka semakin sejajar adalah pilihan untuk berpihak pada rakyat kecil. Erros dengan lantang menyebut dirinya Marhenis sejati, setia pada wong cilik meskipun itu berarti menjauh dari pusat partai. Lu Xun menulis tentang petani miskin, pemuda putus asa, dan perempuan tertindas, meski itu membuatnya dianggap pengacau. Mereka sama-sama memilih rakyat di atas karier.
Sejarah kadang memperlakukan orang-orang seperti Erros dan Lu Xun dengan cara yang ironis. Dalam hidup, mereka sering dipinggirkan, dilabeli terlalu kritis, bahkan dianggap duri. Tapi setelah wafat atau setelah jarak waktu cukup jauh, karya mereka dipuja, namanya dijadikan simbol, dan penguasa yang dulu menyingkirkan mereka ikut bangga menyebut nama mereka. Lu Xun dijadikan ikon revolusi Tiongkok, Erros selalu dikenang dalam sejarah musik dan film Indonesia sebagai pencipta karya besar yang tak lekang. Seolah-olah zaman ingin meminta maaf kepada mereka, tapi tentu saja maaf itu selalu datang terlambat.
Ada pepatah yang mengatakan, "Pena lebih tajam daripada pedang." atau The pen is mightier than the sword. Ini adalah pepatah metonimik yang pertama kali diungkapkan oleh penulis Britania Raya Edward Bulwer-Lytton pada tahun 1839.
Dalam kehidupan Erros dan Lu Xun, pepatah itu nyata. Pedang bisa menaklukkan lawan di medan perang, tapi pena bisa mengubah arah bangsa. Dan meski keduanya tidak pernah duduk di kursi kekuasaan, warisan mereka justru lebih tahan lama daripada nama-nama pejabat yang silih berganti di istana.
Mungkin itu yang membuat kita perlu menengok kembali sosok seperti Erros Djarot dan Lu Xun. Mereka mengingatkan kita bahwa seniman bukan sekadar penghibur, tapi bisa menjadi ideolog, penggerak, bahkan duri bagi kekuasaan. Mereka menunjukkan bahwa keindahan seni tidak pernah netral, selalu membawa sikap. Dan mereka mengajarkan bahwa kadang lebih mulia berdiri di luar pagar istana dengan kepala tegak, daripada duduk di kursi empuk dengan hati yang tunduk.
Pada akhirnya, baik di Jakarta maupun di Beijing, pada abad ke-20 maupun abad ke-21, kisah orang-orang seperti Erros dan Lu Xun selalu relevan. Mereka adalah bukti bahwa sejarah tidak hanya ditulis oleh para kaisar, jenderal, atau presiden, tapi juga oleh penyair, musisi, dan penulis yang berani berkata tidak.
Jika suatu hari Anda punya kesempatan jalan-jalan ke Beijing, jangan lupa mampir ke Museum Lu Xun (Lu Xun Junianguan). Mengapa tempat itu penting dan apa maknanya?
Museum Lu Xun bukan cuma tempat mengoleksi barang-barang, surat-surat, foto-foto, ataupun barang pribadi Lu Xun. Ia adalah ruang untuk merasakan atmosfer zaman di mana kritik dan kecemasan terhadap tradisi dan politik masih dianggap pemberontakan.
Di dalam museum, Anda bisa melihat bagaimana Lu Xun berpikir --- bagaimana ia memilih jalannya sendiri saat dokter menjadi pilihan awal, tapi kemudian ia memilih menjadi "penulis yang membangunkan orang". Bukti bahwa kritik sosial, sastra, dan intelektual bisa menyentuh kehidupan rakyat kecil.
Museum itu juga jadi saksi bisu bahwa orang seperti Lu Xun tak selalu punya tempat dalam lingkar kekuasaan, tapi warisannya tetap hidup dalam buku-buku dan pemikiran.
Bagi seseorang seperti Erros Djarot, yang juga menolak menjual idealisme demi jabatan, mengunjungi museum Lu Xun bisa memperkuat keyakinan bahwa suara independen tetap mungkin menggetarkan waktu.