Malam itu, di sebuah teras rumah berarsitektur klasik dengan pilar-pilar putih yang berdiri kokoh, dua sosok duduk berhadapan. Suasana hening, hanya sesekali terdengar suara serangga malam dan hembusan angin yang mengusap dedaunan. Lampu gantung memantulkan cahaya kekuningan yang lembut, menciptakan bayangan panjang di lantai keramik yang dingin. Di atas meja, ada asbak berisi puntung rokok dan sebuah korek api hijau yang tergeletak begitu saja. Benda kecil itu menjadi saksi sebuah proses besar yang akan terjadi malam itu: perjalanan menuju ikhlas untuk berhenti merokok.
Salah satu sosok itu adalah seorang pria yang tampak gelisah, duduk dengan posisi agak membungkuk, matanya sesekali menatap puntung rokok di asbak. Di hadapannya, duduk seorang pria berpeci, berkaus merah, dengan tatapan teduh dan penuh keyakinan. Dialah Ustaz Irul, seorang pembimbing spiritual yang dikenal dengan pendekatan uniknya dalam membantu orang melepaskan candu rokok. Ia bukan dokter, bukan pula motivator dalam pengertian konvensional, tetapi caranya menyentuh sisi terdalam manusia telah banyak meninggalkan jejak kesembuhan.
"Ambil rokokmu," ujar Ustaz Irul pelan, suaranya tenang tapi mengandung ketegasan. Sang perokok, dengan ragu, merogoh saku celana dan mengeluarkan sebatang rokok. Tangan gemetar, bukan karena ketagihan, tapi karena ada pergulatan batin. Ia menyalakan rokok itu, mengisapnya dalam-dalam, seperti isapan terakhir yang penuh kenangan. Asap mengepul di udara, menari-nari di bawah cahaya lampu.
"Sekarang, ikhlaskan. Tarik napas... keluarkan. Ucapkan dalam hati: aku tidak butuh ini. Aku bebas," kata Ustaz Irul. Kalimat itu bukan sekadar instruksi, tetapi sebuah afirmasi yang diulang-ulang agar menembus lapisan bawah sadar.
Ritual ini bukan sekadar duduk lalu membaca doa. Ada proses mendalam yang melibatkan keyakinan, sugesti, dan niat. Ustaz Irul meyakini bahwa berhenti merokok bukan soal fisik semata, melainkan soal hati dan pikiran.
"Yang bisa menghentikan merokok hanya kamu sendiri. Saya hanya membantu. Demi Allah, kalau kamu yakin dan ikhlas, kamu bisa berhenti," ucapnya dengan mantap.
Gerakan Tangan yang Penuh Makna
Di sini, tangan Ustaz Irul mulai bergerak. Perlahan tapi pasti, jemarinya menelusuri ruang antara doa dan kenyataan. Ia mengangkat tangan kanan, mengarahkannya ke kepala sang pasien, lalu turun perlahan ke kening, menyentuh udara di sekitar wajah, hidung, bibir, hingga dagu. Gerakan itu berulang-ulang, seakan mengusap energi negatif yang melekat. Setiap gerakan disertai bisikan doa dan kalimat afirmatif yang terdengar lirih.
"Rokok ini pahit. Tidak enak. Kamu tidak suka ini," ucapnya sambil menatap mata pasien dengan intensitas yang membuat suasana terasa khidmat. Tangan itu tidak berhenti bergerak, dari atas kepala hingga dagu, seolah sedang menyapu bersih sisa-sisa kelekatan pada rokok.
Di tengah gerakan itu, sang pasien mengulangi kalimat yang dibimbing Ustaz Irul: "Saya benci rokok. Saya ingin sehat. Saya bebas." Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi diulang dengan penuh kesadaran hingga menjadi sugesti yang kuat.
Pahit yang Membawa Kebebasan
Proses ini tidak sebentar. Ritual bisa berlangsung lama, tergantung kesiapan mental pasien. Dalam momen tertentu, Ustaz Irul meminta pasien mengisap rokok lagi. Namun kali ini, sensasinya berbeda. "Bagaimana rasanya?" tanya Ustaz Irul. Sang pasien terdiam sejenak, lalu mengernyit.
"Pahit... tidak enak," jawabnya pelan. Ustaz tersenyum tipis, karena inilah tanda awal keberhasilan.
"Kalau kamu sudah muntah, berarti tubuhmu menolak. Itu bagus. Jangan tahan," ujar Ustaz. Dan benar, tak lama kemudian, rasa mual itu datang. Pasien bergegas mencari tempat untuk memuntahkan isi perutnya. Rokok yang dulu menjadi teman setia, kini menjadi sesuatu yang menjijikkan. Bukan karena paksaan, tapi karena hati dan pikiran sudah menolaknya.