Begitu melangkah menyeberangi jembatan inu, nuansa berubah, kami berjalan tidak lagi di atas air dan jembatan melain di atas gundukan yang memanjang membujur bak dermaga pelabuhan.
Tidak jauh berjalan saya melihat sebuah karangan bunga ucapan selamat untuk PT Murindra Karyalestari atas penyelenggaraan Festival Sahabat Mangrove menjelang 30 tahun. Rupanya hari ini juga ada kegiatan perayaan ini sehingga di sini juga ada panggung dan musik yang cukup meriah.
Kami berjalan perlahan, menikmati setiap sudut.
Hal pertama yang menarik perhatian saya ada sebuah papan informasi yang menjelaskan lintasan sejarah taman wisata alam ini.
Isinya mengenai perjuangan menjaga hutan mangrove di TWA Angke Kapuk. Ada kutipan dari Ibu Hj. Sri Leila Murniwati Harahap, pendiri PT Murindra Karyalestari, yang berperan besar dalam konservasi kawasan ini.
Kutipannya berbunyi:
"Mari kita berpegangan tangan dengan kuat seperti akar mangrove. Akar mangrove itu sangat kuat dan bisa menahan gelombang. Jadi sebesar apapun gelombang yang kita hadapi, kita akan kuat."
Ternyata, kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam pada 1995 berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan pengelolaan dilakukan melalui izin kepada PT Murindra Karyalestari dengan luas 99,82 hektar.
Selain itu, juga ada deretan dokumentasi perjalanan sejarah dan aktivitas di TWA Mangrove Angke Kapuk, termasuk kegiatan penanaman, edukasi, kunjungan pejabat, serta proses awal pemulihan kawasan yang dulu rusak hingga kini menjadi ekowisata.
Sambil berjalan santai, di sebelah kiri juga ada kantin dan tenda yang menjual minuman segar seperti kelapa muda. Wah asyik sekali tapi nanti saja deh minum kelapa muda sehabis jalan-jalan.
Tidak jauh juga ada perahu atau speed boat wisata untuk keliling kawasan hutan Mangrove. Ongkosnya ternyata 60 ribu per orang dengan minimal empat orang per boat sekali jalan. Menurut mas Ikhsan juga ada diskon 10 persen untuk naik boat.
Setelah mampir ke toilet saya sempat ikut teman teman yang naik jembatan gantung dan berpose bak pragawan di sini. Memang tidak pajang jembatannya tapi lumayan untuk sekedar bergoyang-goyang.
Di TWA ini pengunjung juga bisa menanam pohon bakau dan bahkan bisa diberi nama kita. Saya melihat deretan nama naik pribadi maupun instansi di deretan pohon bakau yang baru ditanam. Di antaranya nama -nama khas Korea dengan marga Kim atau Woo.
Jalan- jalan berlanjut, sebuah jembatan warna merah yang cantik ada di kali atau kanal yang airnya tidak jernih tidak juga keruh.
Kami terus berjalan ke kawasan hutan bakau, kami bertemu dengan informasi tentang Siklus Hidup Mangrove.
Ternyata ada dua macam yaitu yang terjadi secara alami dan buatan dengan bantuan manusia.
Siklus Alami dimulai dari penempelan benih, penyebaran, pertumbuhan benih, hingga menjadi bibit, sementara Siklus buatan melibatkan pengumpulan benih, penanaman di media tanam, penanaman bibit bertunas, serta perawatan dan pemeliharaan.
Uniknya tertulis juga pesan dari Wakil Direktur TWA AK: