Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Royalti, Dari Fotokopi, Mi Gacoan, Sampai Norwegia

18 Agustus 2025   11:02 Diperbarui: 18 Agustus 2025   11:26 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Royalti : skrinsyut 

Sebagian dari kita tentu masih  ingat betul masa kuliah, ketika uang bulanan pas-pasan dan harga buku terasa seperti kemewahan yang hanya bisa dipegang anak pejabat atau mahasiswa yang orang tuanya kerja di perusahaan besar. 

Di meja kampus, buku-buku tebal berbahasa Inggris terhampar, ditawarkan di toko resmi seharga ratusan ribu.

Sementara itu, mahasiswa  jelata, anak-anak kos yang kadang harus memilih antara beli makan siang atau isi pulsa, tentu saja tidak sanggup. Solusinya sederhana: fotokopi. Satu buku tebal yang aslinya ratusan ribu, bisa dibawa pulang hanya dengan dua   puluh ribu. Lengkap dengan tanda air hitam putih, halaman yang kadang miring, atau lem yang mudah terlepas kalau kena hujan. Waktu itu rasanya wajar. Kami menganggapnya bagian dari "trik bertahan hidup mahasiswa".

Tapi seiring waktu, saya jadi merenung. Bukankah itu bentuk paling telanjang dari pelanggaran hak cipta ? Buku itu ditulis orang, diterbitkan dengan proses panjang, lalu begitu saja kami gandakan tanpa izin. Bahkan, di kampus yang katanya mengajarkan hukum dan hak cipta, dosen kami pun sering bilang: "Buku aslinya susah dicari, fotokopian saja cukup." 

Di kelas kita sering  diajarkan  tentang kejujuran dan keadilan, tapi karena kebutuhan ekonomi tetap saja kami membuka halaman-halaman fotokopi yang buram. Ada semacam ironi di situ: kita bangsa yang bangga menyebut diri paling religius, tapi untuk hal sederhana seperti membayar karya orang lain saja sering pura-pura tidak tahu.

Lalu tibalah berita soal Mi Gacoan. Restoran mie pedas yang kini menjamur di mana-mana, tempat anak-anak muda nongkrong, ketawa-tawa, dan berlomba naik level cabai. Siapa sangka, di balik kepulan asap mie, ada kasus royalti yang menyeret nama mereka sampai ke kepolisian. LMKN Lembaga Manajemen Kolektif Nasional)  menuntut pembayaran royalti karena lagu-lagu yang diputar di gerai Mi Gacoan tidak pernah dibayar haknya. Jumlahnya fantastis: dua miliar lebih. Orang pun riuh. Ada yang membela, bilang: "Masa cuma muter lagu didenda dua miliar?" Ada yang mencibir: "Lho memangnya gratis nyanyi? Itu kan karya orang."
Di sini kita melihat wajah nyata Indonesia. Kalau di Jepang, ada JASRAC---Japanese Society for Rights of Authors, Composers and Publishers. Lembaga ini super ketat. Bahkan kafe kecil atau salon pinggir jalan yang memutar musik harus melaporkan daftar lagu yang diputar dan membayar royalti sesuai aturan. Tidak ada kompromi. Hasilnya? Musisi bisa hidup dari karyanya. Lagu yang diciptakan sekali bisa terus menghidupi mereka puluhan tahun. Bahkan ada cerita musisi Jepang yang meski sudah pensiun dari panggung, tetap mendapat pemasukan layak dari royalti, cukup untuk hidup tenang di usia senja.
Norwegia pun sama, meski bukan di bidang musik. Negeri itu dikenal dengan sistem royalti sumber daya alam. Semua perusahaan minyak dan gas wajib menyetor sebagian besar hasilnya ke negara. Uangnya tidak dibiarkan menguap, melainkan ditabung dalam Government Pension Fund Global---dana abadi yang kini nilainya lebih dari seribu tujuh ratus miliar dolar AS. Bayangkan, satu negara kecil di Skandinavia punya tabungan yang bisa membiayai kesehatan, pendidikan, dan pensiun warganya sampai beberapa generasi ke depan. Itu juga bentuk royalti---hasil dari sumber daya yang diolah, dikembalikan untuk rakyat.

Sangat kontras dengan Indonesia. Kita punya tambang emas, gas, batu bara, minyak, nikel, tapi selalu terdengar cerita bahwa hasilnya tidak pernah benar-benar sampai ke rakyat. Pajak bocor, izin tambang misterius, dan yang kaya semakin kaya. Royalti seolah hanya ada di atas kertas, ada tapi samar. Kita dengar istilahnya, kita tahu harusnya dibayar, tapi entah menguap ke mana jalurnya. Sama seperti kasus Mi Gacoan: dibayar, iya; masuk ke pencipta lagu, belum tentu.

Hingga saat ini sebagian besar kita mungkin tidak pernah punya  perasaan "malu " walau sadar dulu belajar pakai buku fotokopian. Waktu itu kita merasa itu perkara kecil. Tapi hari ini, ketika melihat musisi Indonesia kesulitan hidup, ketika melihat penulis kita jarang bisa hidup dari karyanya, saya paham bahwa budaya "ambil saja, toh gratis" sudah tertanam sejak lama. Dari buku kuliah, musik di kafe, sampai tambang emas di Papua. Kita menganggap karya orang lain bisa dipakai tanpa bayar. Dan kita berdalih: ini demi rakyat kecil.

Ada yang bilang bahwa di Indonesia, masalah royalti ini bukan sekadar hukum, tapi budaya. Kita masih menganggap karya bukan sesuatu yang harus dihargai dengan uang. Kita terbiasa menerima ceramah gratis di masjid, khutbah gratis di gereja, pengajian gratis di kampung. Itu bagus untuk spiritualitas. Tapi masalahnya, pola pikir itu merembes ke bidang lain: musik dianggap harus gratis, buku dianggap boleh difotokopi, film dianggap boleh dibajak. Maka jangan heran kalau industri kreatif kita sulit maju.

Lalu apa bedanya dengan Norwegia? Bedanya adalah keseriusan negara. Di Norwegia, royalti minyak dan gas ditarik dengan disiplin tinggi, lalu dikelola secara transparan. Tidak ada cerita uangnya tiba-tiba hilang. Semua rakyat bisa melihat laporan dana abadi mereka secara online. Bahkan ada aturan ketat: dana itu tidak boleh dipakai seenaknya oleh pemerintah, hanya sebagian kecil yang boleh dipakai setiap tahun, sisanya ditabung untuk masa depan. Itu cara mereka menjaga generasi mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun