Setelah puas melihat keindahan Kelenteng Cu An Kiong yang sangat khas karena mewajibkan pengunjung membuka alas kaki, kami siap kembali ke mobil Elf untuk melanjutkan jalan jalan sore di Lasem. Waktu sudah menunjukan sekitar pukul 3. 25.
"Destinasi kita selanjutnya adalah pohon Trembesi," ujar Mbak Ira dengan senyum manis yang selalu menggoda siapa saja yang melihat.
Kami segera naik mobil. mas Agik kembali duduk di samping sopir dan siap mendongeng. Mesin Eld menderu, roda bergeser pelan meninggalkan halaman kelenteng , dan kami pun melaju melewati jalan perkampungan sempit yang diapit persawahan, membelah senja yang turun perlahan.
Sore itu, udara Lasem berwarna tembaga. Langit yang tadi biru mulai dipenuhi cahaya jingga tipis, lalu menyusup ke dalam kabin mobil. Sawah-sawah di kanan kiri jalan seperti lautan hijau yang melambai, dipotong oleh jalan yang terkadang menanjak, terkadang berbelok tajam. Elf kami meliuk di antara lekukan tanah, seperti seekor hewan tua yang tahu benar jalan pulang.
Di kursi depan , Mas Agik mulai bersuara. Bukan suara lantang yang berapi-api, melainkan nada rendah, dalam, dan penuh jeda. Ia bercerita seakan sedang mengajak kami masuk ke lorong waktu. Perjalanan menuju pohon trembesi bukan hanya sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan ke dalam sejarah, mitos, dan luka yang tertinggal di tanah ini.
Kutukan Marga Han
"Supaya tidak ngantuk, saya akan sedikit bercerita tentang suatu kutukan," demikian Mas Agik memulai dongengnya .
Dimulai dengan kisah tentang sebuah makam tua di desa Babagan yang konon milik Han Sio King alias Han Wee Sing.
Han Siong Kong adalah leluhur marga Han di Jawa. Ia datang dari Tiongkok pada akhir abad ke-17, hidup sebagai saudagar, dan kemudian dikenal sebagai pendiri keluarga besar Han yang kelak punya pengaruh besar di pesisir utara Jawa. Dari garis keturunannya lahir tokoh-tokoh penting, ada yang jadi kapitan Tionghoa di Surabaya, ada juga yang masuk Islam lalu jadi pejabat di Jawa Timur.
Tapi yang paling sering dibicarakan orang bukan soal kejayaannya, melainkan kisah kematiannya. Konon, ketika ia wafat dan hendak dimakamkan di Lasem, hujan deras mengguyur, petir berulang kali menyambar, dan prosesi pemakaman jadi kacau. Anak-anaknya malah ada yang asyik berjudi, sampai peti jenazah ayah mereka sempat ditinggalkan begitu saja. Ketika mereka kembali, tubuh itu sudah terkubur rapi, dan dari situ lahirlah kutukan yang terkenal: keturunan Han tak boleh lagi tinggal di Lasem, kalau melanggar akan jatuh miskin atau mendapat celaka.
Sejak saat itulah nama Han Siong Kong bukan hanya diingat sebagai pendiri keluarga besar, tapi juga melekat dengan legenda kutukan. Hingga kini, cerita itu tetap hidup di Lasem, diceritakan ulang di warung kopi, di rumah tua, sampai jadi bagian dari tur sejarah kota. Entah benar entah tidak, kisah Han Sio Kong membuat Lasem selalu punya aura misteri yang bikin orang penasaran.
Kutukan itu tidak bisa dibuktikan dengan catatan sejarah, tetapi melekat kuat di benak orang-orang Lasem. Mereka percaya bahwa siapa pun yang membawa darah Han akan selalu berhadapan dengan cobaan berat, seolah garis nasib mereka sudah ditulis sejak leluhur pertama menjejakkan kaki di tanah Jawa.
Mas Agik bercerita dengan tenang, namun semakin lama semakin dalam. Kata-katanya mengikat kami, membuat pohon-pohon di pinggir jalan tampak seperti saksi bisu. Entah benar entah tidak, cerita itu terasa masuk akal ketika disandingkan dengan kenyataan: bahwa sejarah keluarga besar Han memang penuh tragedi dan teka-teki.
Tragedi Sulang
Mobil Elf terus berjalan. Mas Agik ternyata masih punya cerita lagi yang kali ini masih ada hubungannya dengan tragedi kemanusiaan pada 1965/66 termasuk hilangnya catatan di kelenteng Cu An Kiong.
Namun kali ini kita akan pergi ke sebuah tempat bernama Sulang, masih di kabupaten Rembang tidak terlalu jauh dari Lasem. Dan ceritanya tentang ditemukannya kuburan massal korban pembantaian G30 September. Salah satu babak kelam dalam sejarah Indonesia yang hingga kini masih penuh kontroversi.
Mas Agik bercerita bahwa Sulang menjadi salah satu tempat eksekusi pada periode 1965/66 lalu. Dikisahkan dengan nada berat, seakan tanah di sana masih menyimpan bisikan. Ia menuturkan bahwa para korban biasanya diperintahkan untuk menggali lubang makamnya sendiri sebelum dieksekusi. Dan dalam satu lubang bisa berisi dua puluh, lima belas, dua belas, bahkan hanya dua tubuh, semua ditumpuk tanpa nama. Dari Cepu, Rembang, hingga Jatironggo, orang-orang diangkut malam hari, dibawa ke lokasi, dan ditembak dalam senyap. Ketika dieksekusi, mereka hanya memakai pakaian dalam dan tangan terikat.
Sulang menjadi saksi kunci dari tragedi itu. Mas Agik menyebut bahwa di antara korban ada guru, petani, bahkan orang biasa yang hanya terseret arus. Dari Lasem hingga Cilacap, bahkan sampai ke Nusa Kambangan, cerita serupa berulang: eksekusi diam-diam, lubang tanah, dan tubuh yang ditimbun terburu-buru. Bau anyir bercampur tanah basah membuat malam-malam itu sulit dihapus dari ingatan mereka yang masih hidup.
Sulang bukan hanya sebuah titik di peta, melainkan ruang yang menyimpan peringatan pahit. Ia menuturkan bahwa setiap kali melintas di sana, orang akan teringat pada lubang-lubang yang menelan manusia tanpa nisan. Tragedi itu, katanya, adalah cermin betapa mudahnya sebuah tuduhan mengubah warga desa menjadi mayat, dan bagaimana sejarah kerap memilih diam hingga beberapa dasa warsa.
Pohon Trembesi
Sekitar jam empat sore, kami tiba di tujuan. Pohon trembesi itu menjulang tinggi, batangnya sebesar beberapa kali tentang tangan orang dewasa , cabangnya melebar seperti payung raksasa yang menaungi tanah di bawahnya. Udara di sekitarnya berbeda---lebih lembab, lebih sunyi, lebih berat.
Kami turun satu per satu, lalu memotret dengan hati-hati. Ada perasaan enggan untuk bersuara terlalu keras, seakan pepohonan bisa mendengar. Trembesi itu sudah berusia ratusan tahun, bahkan menurut penyelidikan ahli botani berkisar hampir 400 tahun dan masyarakat sekitar percaya bahwa ia adalah pohon keramat.
Di bawahnya ada sebuah punden kecil, yang konon adalah makam. Tidak jelas siapa yang dimakamkan di sana, tetapi warga menyebutnya sebagai tempat yang harus dihormati. Siapa pun yang datang dilarang bersikap sembarangan, apalagi menebang cabang pohonnya. Sudah ada cerita tentang orang yang mencoba melawan pantangan itu, lalu ditimpa musibah.
Kami berdiri di sana, masing-masing diam dalam pikiran sendiri. Setelah mendengar kisah Sulang dan kutukan Han, keberadaan trembesi itu seperti rangkuman dari semuanya. Akar-akarnya mencengkeram tanah dengan kuat, seolah menahan rahasia yang tidak pernah bisa terungkap. Ranting-rantingnya merentang ke langit, seperti tangan yang ingin memohon atau mengutuk.
Refleksi di Senja
Senja turun semakin cepat. Cahaya matahari menembus celah daun trembesi, menciptakan garis-garis emas di tanah. Kami masih sempat berfoto, tapi bukan dengan tawa riang, melainkan dengan wajah yang lebih banyak menyimpan perenungan.
Perjalanan hari itu meninggalkan jejak yang aneh: indah sekaligus muram, nyata sekaligus mistis. Kami menyadari bahwa tanah yang kami pijak menyimpan lapisan-lapisan sejarah---sejarah darah, sejarah kutukan, sejarah doa. Sulang dengan lubang massalnya, Marga Han dengan kutukannya, trembesi dengan akar mistisnya---semuanya menyatu di Lasem, sebuah kota kecil yang dari luar tampak biasa, tetapi dari dalam menyimpan begitu banyak rahasia.
Di dalam Elf saat meninggalkan pohon Trembesi, tidak banyak yang berbicara. Jalanan kembali dilalui, sawah kembali melewati, langit perlahan gelap. Tetapi di dalam kepala kami, cerita-cerita itu terus berputar, mengisi ruang hening dengan suara-suara yang sudah lama terkubur.
Kami sadar, ada luka yang tidak pernah sembuh, ada kutukan yang tidak pernah hilang, dan ada pohon yang akan terus berdiri sebagai saksi.
Perjalanan ke pohon trembesi itu bukan sekadar wisata sore. Ia adalah perjalanan menembus lapisan sejarah, antara fakta dan mitos, antara darah dan doa. Dari Sulang hingga Han, dari tanah yang dipenuhi lubang hingga pohon yang menolak roboh, semuanya membentuk mosaik tentang manusia dan nasibnya.
Kami pulang membawa foto-foto, tetapi yang lebih penting adalah cerita-cerita itu. Cerita yang membuat bulu roma merinding, yang membuat hati bertanya, yang membuat langkah terasa lebih berat.
Lasem tidak hanya tentang batik atau kelenteng tua. Ia juga tentang luka yang dipendam, kutukan yang diwariskan, dan pohon-pohon yang terus berdiri di tepi jalan, menunggu orang-orang untuk mengenangnya.
Malam itu kami tidak langsung pulang ke Lasem, tapi mampir dulu ke pusat kota Rembang untuk mencicipi kuliner khas yang lezat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI