Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?- Karawang Bekasi, Chairil Anwar
Pagi itu, Sabtu tanggal 16 Agustus, udara Bekasi masih segar meski matahari mulai menampakkan senyumnya. Jam baru menunjuk pukul tujuh lewat sedikit, namun telinga saya sudah disambut oleh dentuman drum band dari kejauhan. Nada perkusi yang teratur itu terdengar seperti alarm yang jauh lebih hidup dibanding bunyi ponsel. Bukan sekadar bunyi, tapi undangan---undangan untuk ikut larut dalam pesta rakyat yang hanya datang setahun sekali.
Dari rumah, saya mendengar suara itu semakin jelas. Rasanya tidak mungkin hanya duduk diam. Langkah kaki ini akhirnya bergerak, mengikuti gema drum menuju jalanan perumahan Taman Cikas yang pagi itu telah berubah wajah.
Di sepanjang jalan, warna merah putih mendominasi. Anak-anak dengan penuh semangat mengenakan busana daerah: ada yang memakai kebaya mungil dengan selendang seadanya, ada yang mengenakan ikat kepala khas Betawi, ada pula yang tampil dengan busana khas Dayak lengkap dengan bulu burung di kepala.
Bendera kecil berkibar di tangan mereka, meski beberapa malah sibuk dijadikan kipas. Orang tua yang mendampingi pun tak kalah bersemangat. Ada bapak-bapak yang mengenakan kaos bergambar Garuda, ada ibu-ibu dengan jilbab merah atau putih. Semua seperti sedang menyiapkan panggung yang meriah untuk menyambut kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.
Karnaval dimulai dari pelataran parkir antara masjid dan kolam renang, lalu berputar melewati jalan Cikas Boulevard dan kemudian mengelilingi perumahan Taman Cikas. Jalan yang biasanya sesekali dilewati motor dan mobil warga, pagi itu jadi milik pejalan kaki.
Langkah-langkah kecil dan besar menyatu dalam irama drum band Swara Gita Mustika dari SMP 12 Bekasi, yang menjadi pembuka sekaligus pengiring perjalanan.