Di Jepang, JASRAC memang sering dikritik terlalu ketat. Banyak orang bilang mereka seperti polisi musik, selalu memantau. Tapi pada akhirnya, justru karena ketat itulah musisi bisa terlindungi. Ketat bukan berarti buruk, selama uangnya benar-benar sampai ke tangan yang berhak.
Di Indonesia, masalahnya justru sebaliknya. Kita longgar di hulu, tapi ribut di hilir. Orang bebas memutar lagu tanpa izin, tapi ketika ada tagihan, publik heboh dan merasa dizalimi. Padahal kalau dari awal ada sistem jelas, semua bisa berjalan tenang. Yang jadi persoalan adalah: apakah uang yang ditarik benar-benar sampai ke pencipta, atau berhenti di kantong pejabat yang kebetulan memegang stempel? Di sinilah keraguan masyarakat muncul.
Saya percaya, masalah royalti ini adalah cermin dari kedewasaan bangsa. Kalau kita masih suka memfotokopi buku tanpa rasa bersalah, kalau kita masih asik nonton film bajakan di situs gelap, kalau kita masih ribut karena restoran dipaksa bayar royalti, maka artinya kita belum dewasa menghargai karya. Kita masih melihat karya sebagai barang gratisan.
Padahal ironis, kita suka bangga dengan label "paling religius". Kita hafal doa, rajin ibadah, tapi untuk hal sesederhana membayar karya orang saja masih berat. Bukankah menghargai jerih payah orang lain juga bagian dari nilai moral dan agama? Seharusnya orang yang religius justru paling peduli dengan hak cipta, karena itu menyangkut keadilan.
Jadi mengapa di Indonesia kita masih bingung, masih merasa berat hati, masih sibuk mencari alasan?
Mungkin jawabannya ada pada budaya fotokopi yang sudah terlalu lama mendarah daging. Dari kelas kuliah sampai warung kopi, dari acara hajatan sampai kampanye politik, musik selalu gratis. Buku selalu ada versi bajakan. Film selalu bisa ditonton lewat link rahasia. Kita terbiasa hidup dengan gratisan, dan akhirnya merasa aneh kalau tiba-tiba ada tagihan.
Tapi suatu saat kita harus berubah. Kalau tidak, industri kreatif kita akan selalu jalan di tempat. Musisi kita hanya terkenal di YouTube tapi miskin di rumah. Penulis kita hanya viral sebentar, lalu kembali bekerja kantoran. Sementara pejabat kita yang memegang stempel royalti tetap bisa makan enak dan berfoto sambil tersenyum.
Royalti seharusnya sederhana: hak yang diberikan kepada pencipta atas karya mereka. Bukan untuk dipersulit, bukan untuk dipermainkan. Kalau Jepang bisa rapi, kalau Norwegia bisa disiplin, kenapa kita tidak bisa? Jawabannya ada pada kita sendiri---apakah kita mau berhenti menganggap karya orang lain gratis, dan mulai belajar membayar dengan adil.
Mungkin nanti, kalau kita sudah bisa membayar musik dengan tenang, kalau kita sudah rela beli buku asli meski harganya lebih mahal, kalau kita sudah percaya bahwa uang royalti benar-benar sampai ke tangan pencipta, barulah bangsa ini bisa disebut benar-benar dewasa.
Selama itu belum terjadi, royalti akan tetap terasa seperti kata yang ada tapi tiada . Lalu apa nasib UU no 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI