1. Pintu Kuning: Gerbang Masa Silam
Selesai makan siang di Warung Apung Dasun, kami melanjutkan jalan-jalan ke tujuan berikutnya. Tujuan yang hingga saat ini masih mengandung misteri yang belum terjawab.
Siang itu matahari menggantung agak malas di langit Lasem. Kendaraan Elf kami, rombongan Wisata Kreatif Jakarta, berhenti di depan bangunan besar dengan pintu pagar kuning mencolok. Bukan kuning sembarangan, tapi kuning yang mengundang rasa penasaran. Di atasnya ada tulisan warna cokelat beralas putih: "Lawang Ombo Heritage."
Mas Agik, pemandu kami, turun dari kendaraan dan membuka pintu sambil berkata, "Ini dia, Lawang Ombo."
Lawang Ombo berarti "pintu besar" dalam bahasa Jawa. Dan besar memang bukan istilah hiperbolis. Pintu ini menjulang seperti gerbang menuju dunia lain. Kata "Ombo" sendiri mengingatkan saya pada sesuatu dari masa lampau---seperti bendungan Kedung Ombo.
Begitu melangkah masuk ke halaman yang cukup luas, rasanya seperti berpindah zaman. Bangunan utama rumah ini khas Tionghoa dengan nuansa Hindia dan Jawa. Atapnya bergaya ekor walet, melengkung ke atas melambangkan keseimbangan Yin dan Yang---energi bumi yang naik dan energi langit yang turun.
Konon, atap lengkung ini juga mengandung filosofi yang terpatri dalam setiap lengkungannya---mengalirkan angin, menghantarkan doa, dan mengingatkan bahwa rumah bukan cuma tempat tinggal, melainkan tempat pulang jiwa.
Sebelum sampai ke bangunan utama, di sebelah kanan kami ada bangunan tambahan berdinding putih dan berjendela besar dengan jeruji yang dicat warna hijau keabu-abuan yang sedikit kusam.
Kami berjalan perlahan dan masuk ke beranda muka rumah yang berlantai terakota. Di bawah atap, bergantung beberapa lampion merah yang menambah suasana ketionghoaan rumah tua ini. Ada dua set meja, masing-masing dengan empat kursi kayu jati, dan beberapa perabot lain. Juga ada patung kayu berbentuk empat ekor rusa yang antik, berdiri dekat kursi tua antik di dekat pintu utama rumah.
Langit-langit tinggi dari kayu jati, lantai terakota tua, dan dinding-dinding batu tebal menyambut kami dalam keheningan yang nyaris suci.
2. Altar dan Patung Singa
Sebelum masuk, saya memperhatikan altar utama yang seakan menyapa ramah. Di sinilah saya mulai merasa bahwa rumah ini bukan sekadar rumah, melainkan tempat pemujaan yang hidup.
Di kedua sisi pintu terdapat sepasang patung singa penjaga, dengan ekspresi tajam dan kaki yang kokoh menahan bumi. Patung ini dalam bahasa Inggris disebut Fu Dogs, dan dalam Mandarin disebut Shishi. Patung ini dipercaya dapat mengusir roh jahat dan memberikan perlindungan spiritual. Singa kiri memegang anak singa---melambangkan kesuburan dan keturunan---sementara singa kanan memegang bola dunia---melambangkan kekuasaan atau penjagaan rumah.
Masuk ke ruang utama, ada sebuah meja bundar yang di atasnya terletak sebuah buku menarik berjudul "Chinese Houses of Southeast Asia," karangan Ronald G. Knapp. Buku bergambar yang cantik ini merupakan studi visual dan historis mendalam tentang rumah-rumah Tionghoa di Malaysia, Indonesia, Thailand, Vietnam, dan Singapura. Di dalamnya terdapat foto-foto interior dan eksterior rumah-rumah tersebut, di antaranya dari Lasem, Penang, Melaka, dan Hoi An.
Saya menyapu ruangan ini dengan pandangan. Dinding warna krem memajang foto hitam-putih, mungkin foto keluarga pemilik rumah. Ada lemari antik dari kayu dengan ukuran cantik. Langit-langit juga terbuat dari kayu dan dicat warna krem yang tenang.
Di altar leluhur, terbuat dari kayu jati cokelat dengan ukiran berpola naga yang dominan, meja sembahyang dipenuhi dupa, lilin merah, serta papan arwah atau Sin Pai bertuliskan nama-nama leluhur. Di kedua sisinya dihiasi masing-masing satu lampion besar dan satu lampion kecil bersusun tiga.
Di dinding sebelah kanan altar leluhur, tergantung pada bingkai kaca selembar lelayu yang cukup mencuri perhatian. Judulnya "Rest in Peace", mengabarkan wafatnya Soekidjan---terlahir Tjoo Tiang Dian---yang meninggal pada 12 April 2014 di usia 90 tahun. Ia lahir pada 24 Desember 1924, dan yang menarik, istrinya bernama Liem Mertjes Nio---diduga masih keturunan pendiri Lawang Ombo. Rumah ini sendiri, kini dimiliki oleh putra kelima mereka, Soebagio Soekidjan alias Tjoo Boen Hong. Sebuah jejak keturunan yang masih berdenyut di antara dinding tua dan dupa yang sesekali masih dinyalakan.
Mas Agik bercerita bahwa rumah ini kemungkinan besar dibangun pada paruh kedua abad ke-18. Pemilik pertamanya adalah Lim Cui Sin, yang makamnya akan kita lihat nanti. Keturunannya kemudian menjadi Kapitan Tionghoa pertama di Lasem yaitu Lim Ki Siong, yang menjabat pada tahun 1835--1837.
Menurut Mas Agik, rumah tua ini menjadi saksi bisu peristiwa tragis yang menimpa keluarga penghuninya, yang terkait dengan sejarah gelap Lasem sebagai jalur perdagangan opium. Dulu, rumah ini menjadi tempat penyelundupan candu, serta bagian dari hubungan rumit antara penjajah, pedagang Tionghoa, dan penduduk lokal.
Konon, satu keluarga penghuninya dibantai oleh Belanda, dan hanya ada seorang anak yang bisa diselamatkan. Cerita itu hidup sebagai cerita rakyat, bukan dokumen kolonial. Tidak ada arsip. Tidak ada catatan resmi. Tapi semua orang di Lasem tahu cerita itu.
Sejak saat itu, rumah ini diyakini "tak tidur." Roh-roh yang terbunuh masih bergentayangan. Banyak orang bilang sering mendengar ringkik kuda di waktu malam.
3. Lubang Candu dan Terowongan Rahasia
Kami kemudian diajak melihat sisi kiri rumah. Di sini ada lubang dengan diameter sekitar 50 cm. Tapi ini bukan lubang biasa.
Mas Agik menunjuk ke dalam lubang gelap itu dan berkata, "Dulu dari sinilah opium masuk." Ternyata lubang ini terhubung dengan terowongan menuju Sungai Lasem yang jaraknya tidak jauh dari rumah.
Lawang Ombo pernah menjadi pusat perdagangan dan penyelundupan candu ilegal. Kapal-kapal kecil dari laut membawa candu menyusuri Sungai Babagan, lalu menyusup melalui terowongan bawah tanah yang konon terhubung langsung dengan sumur ini. "Jadi, rumah ini gudang, tapi juga pelabuhan tersembunyi," lanjut Mas Agik.
Saya membayangkan bagaimana candu berpindah tangan---dari kapal ke lubang sempit, naik ke ruang penyimpanan, lalu keluar lewat pintu belakang.
4. Silsilah Keluarga dan Bayang-Bayang Masa Lalu
Kami berjalan ke beranda belakang. Di sana tergantung papan silsilah keluarga. Pada papan hitam ini tertulis nama-nama generasi keluarga Lim dan Tan.
Pada paling atas tertulis nama Lim King Siok sebagai ayah dan Tjan Ko Nio sebagai ibu. Di bawahnya ada Liem Gwat Nio sebagai anak dan Tan Sioe Hok sebagai menantu, serta cucu-cucu bermarga Tan. Di bagian bawah ada keterangan: tinggal di Lasem sejak 1888.
Terus terang, semua ini masih menyimpan misteri.
5. Rumah Bertingkat, Jangkar, dan Suara yang Tak Mau Pergi
Di bagian belakang, setelah halaman tengah atau tianjing, terdapat sebuah mansion dua lantai. Bangunan ini tampak megah sekaligus sedikit angker. Tapi yang membuat kami semua berhenti sejenak adalah sebuah jangkar besar yang diletakkan di depannya.
Tidak diketahui asal-usul tentang jangkar ini. Mas Agik bilang bahwa jangkar ini sangat berat, dan saya sendiri tidak kuat mengangkatnya. Keberadaan jangkar ini membuktikan bahwa Lasem dulu memang merupakan kota pelabuhan yang ramai.
Saya mencoba masuk ke mansion ini, tapi baru mendekat ke ambang pintu, sontak bulu kuduk berdiri dan membuat saya merinding. Walaupun pintunya terbuka lebar, mungkin gedung ini tidak bersedia dikunjungi.
Mas Agik hanya tersenyum kecil, lalu mengajak kami ke halaman samping yang ternyata sangat luas. Di kejauhan tampak atap Kelenteng Cu An Kiong.
6. Makam Pendiri dan Batu Intan yang Hilang
Di sana berdiri makam tua dengan bongpay besar. Ukurannya menunjukkan bahwa yang dimakamkan pasti orang terpandang.
"Inilah makam pendiri Lawang Ombo," kata Mas Agik singkat.
Dengan bantuan gadget, saya mencoba membaca tulisan pada bongpay. Di sana tertulis nama dan asal Lim Cui Sin, yaitu dari Hu Shan di Provinsi Shandong, dan berpangkat perwira rendah (dengshilang). Makam ini memiliki angka tahun 1827. Ini senada dengan informasi pada papan arwah di altar yang menyebutkan Lim lahir pada 1788 dan meninggal pada 1827.
Selain bongpay utama, di depan sebelah kiri nisan ada altar untuk Dewa Bumi.
Yang menarik, tidak jauh dari makam ada patung shishi kecil yang ditemani batu berbentuk intan dodekahedron. Menurut Mas Agik, ini melambangkan kekayaan. Sayangnya, dulunya ada dua batu intan. Sekarang, salah satunya telah hilang dicuri. Kini hanya tinggal landasannya saja.
Gabungan antara singa batu dan batu intan di makam Lawang Ombo memperkuat aura misteri dan kesakralan. Tidak hanya menunjukkan status keluarga Lim yang tinggi di zamannya, tapi juga menjadi pelindung spiritual rumah dan makam dari kekuatan jahat. Batu ini mengundang rasa hormat sekaligus merinding bagi siapa pun yang melihatnya.
7. Pintu Kuning Kecil
Kunjungan kami ditutup di tempat yang mirip seperti saat kami memulai: pintu kuning kecil tidak jauh dari rumah utama. Sebelum pergi, saya menyempatkan berpose di pintu ini.
Lebih dari satu setengah jam kami ada di sini. Lawang Ombo bukan hanya sekadar rumah tua yang cantik, tapi gerbang menuju misteri yang tak pernah selesai.
Saya berdiri di depan pintu kuning kecil itu sambil melihat palang pintunya yang khas. Saya sadar bahwa tidak semua kisah harus punya jawaban.
Biarlah Lawang Ombo dengan segala misterinya.
Epilog
Lawang Ombo bukan hanya bangunan warisan. Ia adalah lubang waktu, tempat candu pernah disembunyikan, darah pernah tumpah, dan batu pernah hilang. Tempat yang tetap berdiri meski sejarahnya tak utuh. Tempat yang menyimpan suara-suara yang tidak ingin dilupakan.
Misteri Lawang Ombo tetap menjadi misteri.
Dan mungkin, memang tak perlu dipecahkan.
Cukup didengar. Dan dikenang.
Lasem, akhir Juni 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI