"Toda una vida por delante, no la malgastes odiando."
---"Seluruh hidup masih ada di depanmu. Jangan kau habiskan dengan membenci."
Kutipan itu dilontarkan lirih, bukan dalam klimaks heroik, melainkan di tengah sunyi padang tandus yang membakar kulit dan membekukan hati. Seorang lelaki tua berkata kepada bocah kecil yang telah kehilangan segalanya, termasuk kepercayaan pada manusia. Di sinilah letak kekuatan Intemperie (2019): ia tidak berteriak, tidak berkhotbah, tetapi mengiris pelan dalam diam.
Tentang Film
Disutradarai oleh Benito Zambrano, Intemperie diangkat dari novel debut Jess Carrasco yang terbit pada 2013 dan langsung mencuri perhatian karena gayanya yang minimalis, simbolik, dan menggetarkan. Film ini dibintangi oleh Luis Tosar---aktor kawakan Spanyol yang pernah mencuri perhatian dunia lewat perannya sebagai Malamadre dalam Celda 211---serta pendatang baru Jaime Lpez sebagai bocah kecil yang jadi pusat cerita.
Film ini tayang perdana di Festival Valladolid dan meraih sambutan hangat. Di ajang Premios Goya 2020, Intemperie memenangkan dua penghargaan: Skenario Adaptasi Terbaik dan Lagu Orisinal Terbaik, serta masuk nominasi Film Terbaik, Sutradara Terbaik, dan Aktor Pendukung Terbaik.
Dan kini film ini saya saksikan pada festival film Spanyol yang tayang di cinepolis senayan park.
Latar Sejarah: Spanyol, 1946 -- Tahun-Tahun Kelaparan
Film ini mengambil latar tahun 1946, tepat tujuh tahun setelah berakhirnya Perang Saudara Spanyol (1936--1939). Masa itu dikenal dalam sejarah sebagai "los aos de hambre"---tahun-tahun kelaparan---ketika rakyat hidup dalam ketakutan, kemiskinan, dan represi berat di bawah kediktatoran Francisco Franco.
Kekuasaan dijalankan lewat jaringan informal: mandor tanah, pengawas desa, dan aparat sipil yang tunduk pada teror, bukan hukum. Intemperie tidak menyebut satu nama politik pun, tetapi kita tahu ini adalah dunia yang dibangun atas rasa takut dan lapar.
Andalusia yang Tandus, Andalusia yang Diam