Kalimat itu terasa benar. Tidak dibuat-buat. Tidak berlebihan. Karena sejak masuk ke rumah ini, kami memang merasa diterima --- bukan sekadar disuguhi kopi, tapi dikenalkan pada akar kehidupan.
Rumah Tokoh, Altar Leluhur, dan Meja Doa
Kami masuk kembali ke bangunan utama Roemah Oei. Di dinding terpajang foto-foto tokoh nasional dan peranakan Tionghoa Indonesia: Ignasius Jonan, laksamana John Lie, mendiang Chrisye, dan masih banyak lagi.
Chrisye --- ya, Chrisye. Banyak yang tak tahu bahwa ia adalah bagian dari sejarah Tionghoa di Indonesia. Rumah ini pelan-pelan membisikkan cerita-cerita yang nyaris hilang dari buku sejarah.
Perabotan antik berjejer: kursi rotan tua, lemari kaca, meja altar keluarga. Di sana juga tergantung tulisan Hanzi dan panel-panel kecil yang menjelaskan nilai-nilai hidup dalam etika Tionghoa.
Filosofi Mi, Sumpit, dan Musim Kehidupan
Di serambi, kami membaca panel edukatif tentang filosofi makanan Tionghoa. Mi, bihun, misoa, kwe tiauw --- masing-masing bukan hanya soal bentuk dan rasa, tapi juga umur panjang, kesederhanaan, dan simbol kehidupan.
Di sini pula juga belajar tentang Empat makanan yang mewakili empat musim di Tiongkok:
Bakcang () untuk musim panas, simbol keberanian
Mooncake () untuk musim gugur, lambang persatuan
Ronde () untuk musim dingin, penghangat keluarga
Lontong Cap Go Meh () untuk musim semi, harapan baru.
Di papan lain dijelaskan pula tentang sumpit: alat makan yang mewakili keseimbangan dan kesetaraan. Sumpit tidak tajam, tidak menusuk, dan tidak melukai. Ia mengangkat makanan tanpa menguasai, mengajarkan kita untuk bersikap lembut namun sigap, terampil tanpa arogan.
Akulturasi Kuliner: Dari Bakso ke Jamu
Satu panel besar menjelaskan akulturasi makanan di Indonesia yang berasal dari budaya Tionghoa:
Bakso (bah si)
Bakwan (bah wan)
Sate, soto, siomay, sekoteng, cincau, tauco