Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Senja di Rumah Oei: Antara Kopi Lelet, Angpau dan Bahasa Hokkien

5 Juli 2025   16:14 Diperbarui: 10 Juli 2025   11:48 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah Oei. (Dokumentasi Pribadi)

Sekitar pukul 4 sore, ketika langit masih cerah sedikit merona lembayung, kendaraan Elf kami meninggalkan Kudus. Hari itu adalah bagian dari rangkaian perjalanan Wisata Kreatif Jakarta menyusuri jejak budaya di pesisir utara Jawa. Dari Museum Kretek hingga Masjid Menara, dari Soto Bu Ramidjan ke Langgar Dalem --- dan kini, sebelum malam tiba, kami bergerak ke arah timur menuju Lasem.

Rumah Merah Indoensia. (Dokumentasi Pribadi)
Rumah Merah Indoensia. (Dokumentasi Pribadi)

"Kalau belum lapar, sebelum ke hotel dan makan malam, kita mampir dulu ke Roemah Oei ya," kata Mbak Ira sambil tersenyum.

Kendaraan parkir di tepi jalan, tepat di seberang toko yang lumayan besar berlantai dua dan berwarna kuning. Uniknya namanya Rumah Merah Indonesia walau di atas pintu lantai duanya ada aksara Hanzi dan juga tulisan Oemah Oei Sien Tjo. 

Sementara yang lebih mencolok mata adalah iklan bertulis akan Sarung Lebaran 50.000, lengkap dengan nomor ponsel di bawahnya .

Siapa sangka persinggahan sore menjelang malam ini menjadi salah satu titik paling berkesan dalam perjalanan hari itu.

Di pusat kota Lasem yang dipenuhi rumah-rumah tua. Di tengah deretan bangunan kolonial dan peranakan, berdiri megah bangunan bercat putih, dengan kusen pintu dan jendela warna coklat tua.

Tepat di atas pintu tertulis nama Toko Madjoe, oleh-oleh dan kelontong lengkap dengan alamat di Lasem. Di kacanya yang luas kita bisa membaca bahwa toko ini menjual oleh-oleh khas Lasem, jajanan dan makanan ringan (cemilan), souvenir dan bahkan batik tulis, serta juga tersedia kopi lelet dan es krim. 

Apa itu kopi lelet? Nanti kita telisik.

Toko Masjid (Dokumentasi Pribadi)
Toko Masjid (Dokumentasi Pribadi)

Sementara di bagian dalam toko terlihat aneka batik Lasem. Tidak jauh dari sini, tampak sebuah gapura dengan gaya Tiongkok yang khas. Atapnya bersusun berdinding putih dan ornamen kayu jati warna coklat tua.

Tepat atas pintunya yang terbuka lebar gerbangnya tergantung papan hitam dengan tulisan emas:

Huang Fu (Dokumentasi Pribadi)
Huang Fu (Dokumentasi Pribadi)

ROEMAH OEI
Tulisan Hanzi ini terbaca "Huang Fu”--- artinya kediaman keluarga Huang, atau Oei dalam ejaan atau dialek peranakan. Di kiri dan kanannya terpahat dua ornamen kecil: seekor burung bangau dan matahari. Saya berhenti sejenak, memandangi lambang itu dan mulai mencari makna lambang tersebut.

Bangau dan Matahari: Doa yang Melekat di Gerbang

Simbol burung bangau dan matahari bukan sekadar dekorasi artistik. Dalam tradisi Tionghoa: Bangau (he) melambangkan umur panjang, kebijaksanaan, dan keluhuran budi. Ia dianggap kendaraan roh-roh suci, penghubung antara dunia fana dan surgawi.

Matahari (ri) simbol kehidupan, energi pencipta, dan harapan --- bagian dari unsur Yang dalam filosofi Yin-Yang.

Kombinasi keduanya menjadi doa visual: rumah yang dijaga umur panjang, ketenteraman, dan keberkahan hidup yang terus terang. Simbol ini juga muncul di Toko Madjoe, toko tua milik keluarga yang sama, tidak jauh dari Roemah Oei. Di situlah kami mulai memahami bahwa lambang bukan sekadar hiasan, tapi identitas, filosofi, dan warisan turun-temurun.

Rumah Oei 1818 (Dokumentasi Pribadi)
Rumah Oei 1818 (Dokumentasi Pribadi)

Di dinding dekat gapura ini terdapat sebuah prasasti marmer berbentuk bulat warna merah marun dengan tulisan warna emas "Rumah Oei Lasem 1818" diresmikan sebagai Peranakan heritage- pusat edukasi seni, budaya, kuliner pada 18-8-2018. Wah banyak sekali angka dekapannya. Di tengahnya ada huruf Hanzi Huang atau Oei.

Tian Jing (Dokumentasi Pribadi)
Tian Jing (Dokumentasi Pribadi)

Suasana Halaman Tengah (Teras Tengah Gaya Tionghoa)

Kami masuk ke halaman dalam yang ternyata berfungsi sebagai cafe. Ini adalah area ruang terbuka di tengah rumah, ciri khas rumah-rumah tradisional Tionghoa, dikenal sebagai tian jing atau open courtyard.

Deretan meja kursi sore itu cukup ramai pengunjungnya, kebanyakan berusia remaja. Mungkin rombongan kami yang sebagian besar berusia dibahas setengah abad. Di sini waktu seakan melambat berputar. Kita seakan tersedot mesin waktu kembali ke abad-abad lampau. Terlihat meja dan kursi kayu antik tertata rapi. Beberapa tamu tengah menikmati kopi dan obrolan santai.

Di sinilah kopi lelet Lasem sering disajikan, lengkap dengan sensasi menggambar motif di permukaan rokok pakai endapan kopi.

Pepohonan besar di halaman atau tian jing ini memberi kesan rindang, teduh, dan sangat nyaman untuk nongkrong sore-sore.

Sebagian dari kami mengambil tempat duduk dan memesan minuman. Sementara saya mulai menjelajah ke bangunan utama, rumah model Tiongkok dari zaman lampau yang terdampar di bumi Jawa.

Di dinding ada penjelasan sekilas tentang sejarah Lasem. Namun saya juga tertarik dengan papan besar berjudul "Angpau".

Angpao (Dokumentasi Pribadi)
Angpao (Dokumentasi Pribadi)

Membaca tulisan ini, ternyata angpau bukan sekadar amplop merah yang biasa kami lihat saat Imlek. Ada sejarah panjang di baliknya---dari tradisi Dinasti Qin yang mengikat koin pengusir roh jahat dengan benang merah, hingga akhirnya bergeser menjadi simbol harapan panjang umur dan keberuntungan.

Tepat di sebelahnya, panel lain menjelaskan tentang "Bai"---seni memberi salam dalam etiket Tionghoa. Ada empat tingkatan penghormatan: kepada Tuhan (dengan tangan di atas kepala), kepada yang lebih tua (sejajar dada), sebaya (sedikit membungkuk), dan lebih muda (tangan di ulu hati). Bahkan di akhir panel itu tertulis:

"Kepada orang hidup hanya dilakukan satu kali, kepada jenazah dua kali, kepada Tuhan tiga kali."

Saya terpaku membaca itu. Betapa segala hal dalam hidup orang Tionghoa, ada aturan dan tata kerama yang penuh etika dan makna.

Dialek hokkien (Dokumentasi Pribadi)
Dialek hokkien (Dokumentasi Pribadi)

Kamus Kecil di Dinding

Masih di dinding bangunan ini, kami menemukan satu papan besar berjudul "Dialek Hokian". Menyenangkan sekali membaca kata-kata seperti "Gua (aku)", "Cincai (mudah)", "Ciamik (sangat bagus)", "Kepo (penasaran)", dan "Hopeng (sahabat)"---yang kini sudah menjadi bagian dari bahasa sehari-hari di Indonesia.

Ada juga istilah lain seperti Kamsia (terima kasih), Cukong (orang kaya), Sekia (anak-anak), hingga nama-nama uang seperti Cepek, Goceng, Ceban---yang ternyata berakar dari dialek Hokkien. Lasem tak hanya menyimpan sejarah lewat tembok dan batiknya, tapi juga lewat bahasa lisan yang diwariskan turun-temurun, bahkan tanpa kita sadari.

Wah masih banyak lagi yang dilihat di sini, namun mbak Ira sudah mengajak kami untuk menjelajah halaman belakang rumah. Yuk nantikan cerita selanjutnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun