Saya melangkah pelan-pelan ke luar, menikmati fasad bangunan. Warna putih dinding yang sedikit kusam memberi nuansa elegan. Jendela-jendela kayu tinggi dengan kisi-kisi besi, detail ubin dinding berwarna kuning dan hijau, serta langit-langit tinggi menunjukkan bahwa bangunan ini adalah karya arsitektur kolonial klasik.
Dari peron kami berjalan ke dalam bangunan utama stasiun. Ini bukan sembarang bangunan. Stasiun Tawang adalah salah satu stasiun tertua dan paling bersejarah di Indonesia, dibuka sejak 19 Juli 1914 oleh Staatsspoorwegen. Desainnya bergaya art deco, dengan langit-langit tinggi, kaca patri, dan dinding-dinding kokoh yang telah menyaksikan ribuan perjalanan selama lebih dari satu abad.
Suasana pagi di stasiun ini terasa unik: tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi. Orang-orang hilir mudik, sebagian menunggu keberangkatan, sebagian baru saja tiba. Saya melihat beberapa restoran dan tempat makan kecil yang kini menghiasi bagian dalam stasiun. Mungkin karena waktu masih pagi, belum semuanya buka. Tapi kehadiran tempat makan ini seperti memberi wajah baru pada stasiun yang lama.
Kami berjalan keluar menuju halaman depan.
Di sinilah suasana kolonial Stasiun Tawang makin terasa kuat. Sebuah patung Bung Karno berdiri gagah, menghadap ke jalan utama. Patung itu seolah menyambut semua yang datang, sekaligus memberi pesan: bahwa sejarah Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jalur-jalur kereta api yang dulu membelah tanah jajahan.
Di sana, ada sebuah plakat yang menceritakan secara singkat sejarah stasiun Tawang. Informasinya singkat tapi padat, mengisahkan tentang arsitek stasiun ini yaitu Mr. Sloth Blauwboer dan peletakan batu pertama pembangunan stasiun oleh pemerintah Hindia Belanda pada 29 April 1911 serta peresmiannya pada 1914. Juga dikisahkan sekilas tentang peran Semarang pada masa perjuangan di awal kemerdekaan Indonesia.
Dari depan stasiun ini, kita bisa menyaksikan kemegahan stasiun tua yang pertama kali dibangun oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS)---perusahaan kereta api swasta Belanda, dengan arsitektur bergaya Indische Empire bernuansa Art Deco, memadukan elemen tropis dan Eropa ini. Ciri khas bangunannya adalah menara jam di bagian tengah, atap tinggi untuk sirkulasi udara, dan ventilasi besar sebagai respons terhadap iklim tropis. Interiornya lapang dan megah, khas bangunan kolonial yang dirancang untuk impresi dan efisiensi.
Masih di depan stasiun, sebuah bendera merah putih berkibar megah menyambut pagi yang datang menjelang.
Sambil menunggu teman-teman lain, kami duduk-duduk sejenak sambil menikmati kopi dan makanan kecil.