Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Dari Batavia ke Dejima, Menyusuri Jejak VOC di Nagasaki

26 Juni 2025   22:09 Diperbarui: 27 Juni 2025   07:37 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan pera Batavia. (Dokumentasi Pribadi)

Siang itu, udara di Nagasaki begitu bersih dan hangat. Matahari menyinari trotoar ketika kami baru turun dari trem Nagasaki Denki no 5 di halte Dejima. Dikejauhan, derit lembut tram sesekali terdengar melintasi jalanan.

Petunjuk arah. (Dokumentasi Pribadi)
Petunjuk arah. (Dokumentasi Pribadi)

Sebuah pintu gerbang yang awalnya kami kira pintu masuk le Dejima ternyata tertutup rapat. Di pagar ada tulisan pintu masuk Dejima dan arah panah. Lumayan jauh serta harus mengitari kompleks.

Informasi. (Dokumentasi Pribadi)
Informasi. (Dokumentasi Pribadi)

Kami berdiri di depan sebuah papan besar bertuliskan kanji dan huruf Latin: Dejima Oranda Shkan Ato --- atau "Site of the Former Dutch Factory on Dejima"--Bekas Kantor Dagang atau Pabrik Belanda di Dejima.

Setelah berjalan beberapa ratus meter berjalan menyusuri tepian parit, kami tiba di sebuah jembatan kayu yang membentang di atas kanal sempit yang mengelilingi area berbentuk setengah pulau. Kami melangkah melintasi jembatan itu. 

Rasanya seperti benar-benar melompati masa kini, masuk kembali ke masa lampau, sebuah dunia dari 300 tahun yang lalu.

Tiket. (Dokumentasi Pribadi)
Tiket. (Dokumentasi Pribadi)

Masuk ke Dunia Miniatur Bernama Dejima

Setelah membeli tiket sejarah 520 Yen, kami berjalan perlahan sambil mengamati komplek bangunan dari kayu dengan gaya arsitektur campuran Jepang dan Belanda.

Dejima adalah sebuah pulau buatan kecil di teluk Nagasaki. Jepang membangunnya pada tahun 1636 untuk menampung para pedagang asing agar mereka bisa berdagang tanpa bercampur dengan warga lokal. Setelah Portugis diusir, tempat ini diambil alih oleh Belanda dan dijadikan satu-satunya tempat mereka boleh berdagang di Jepang.

Saya membaca sepotong-sepotong kisah tentang Dejima sambil berjalan pelan, membaca papan-papan informasi yang tersebar di titik-titik strategis. Bahasanya ringkas, dilengkapi gambar, dan bahkan ada yang dilengkapi ilustrasi.

Jembatan. (Dokumentasi Pribadi)
Jembatan. (Dokumentasi Pribadi)

Di salah satu papan itu tertulis bahwa Dejima dulunya benar-benar terpisah dari daratan, dikelilingi air seperti parit atau kanal pengaman. Bahkan, Belanda hanya boleh masuk lewat satu jembatan yang dijaga ketat. Sekarang kanalnya sudah dipersempit, tapi bentuk pulau aslinya tetap ditandai dengan jelas.

Bangunan Kayu, Jejak Zaman Edo

Saya juga menikmati keindahan deretan bangunan bergaya Jepang kuno, beratap gelap, berdinding putih dan kayu. Bangunan ini direkonstruksi dengan sangat teliti. Ada kantor dagang utama, asrama pejabat VOC, gudang besar, dan bahkan klinik tempat dokter Belanda dulu bekerja.

Parit sekeliling dejima. (Dokumentasi Pribadi)
Parit sekeliling dejima. (Dokumentasi Pribadi)

Kami menyusuri lorong-lorong kayu dan masuk ke beberapa ruangan yang sekarang menjadi ruang pamer. Di dalamnya, ada perabotan lama, rekonstruksi meja tulis lengkap dengan lampu minyak, serta gulungan peta dan buku catatan dalam bahasa Belanda.

Yang paling menarik perhatian kami adalah satu ruangan besar dengan lukisan kota besar yang tertata rapi dengan kanal dan pelabuhan. Kami mendekat dan membaca tulisan di sudutnya:

"The City of Batavia in the Island of Java and Capital of All the Dutch Factories and Settlements in the East Indies" London, 1818 -- Whittle and Laurie
Kami saling berpandangan. Batavia? Bukankah itu... Jakarta?

Lukisan pera Batavia. (Dokumentasi Pribadi)
Lukisan pera Batavia. (Dokumentasi Pribadi)

Batavia di Dalam Museum Jepang

Melihat lukisan Batavia terpajang di museum Jepang adalah pengalaman yang tidak kami duga. Tapi ternyata, sangat masuk akal. Batavia adalah kota pusat VOC di Asia, dan segala urusan perdagangan Belanda ke Jepang via Dejima dikoordinasikan dari sana.

Info ukisan. (Dokumentasi Pribadi)
Info ukisan. (Dokumentasi Pribadi)

Saya mendekat ke lukisan dan melihat pelabuhan yang sibuk, kanal-kanal yang mirip Amsterdam, serta gunung di kejauhan---mungkin Gunung Salak atau Pangrango. Di sana tertulis bahwa Batavia menjadi "caput" atau kepala dari seluruh jaringan pos dagang VOC di Hindia Timur.

Bagi saya, ini seperti menguak fakta bahwa Jakarta atau Batavia, dulu adalah pusat logistik dan diplomasi dagang global. Kota ini menjadi penghubung utama antara Belanda, India, Sri Lanka, Taiwan, dan... Dejima.


Rute Emas VOC: Batavia -- Dejima -- Dunia

Replika kapal. (Dokumentasi Pribadi)
Replika kapal. (Dokumentasi Pribadi)

Sepanjang perjalanan menyusuri Dejima, kami terus menemukan informasi yang memperkuat posisi Batavia dalam jaringan dagang. Di satu panel, kami membaca bahwa setiap tahun VOC mengirim kapal dari Batavia ke Dejima membawa rempah-rempah dari Nusantara, kain dan tekstil dari India, buku, peta, dan instrumen ilmiah dari Eropa, dan kadang juga dokter, ahli botani, atau pelukis. 

Sementara dari Dejima, mereka pulang membawa porselen dan kerajinan Jepang, emas dan perak, juga informasi dan teknologi.

Rute ini biasanya melewati Formosa (Taiwan) yang dulu juga dikuasai VOC selama beberapa dekade, sebagai pangkalan persinggahan sebelum melanjutkan ke Nagasaki. Saya mulai memahami bahwa jalur dagang VOC ini seperti jaring laba-laba yang terhubung ke satu titik utama: Batavia.

Siebold: Ilmuwan dari Batavia ke Jepang

Salah satu tokoh penting yang saya pelajari dari papan informasi dan ruang pamer adalah Dr. Philipp Franz von Siebold. Ia adalah dokter asal Jerman yang bekerja untuk VOC dan dikirim ke Dejima tahun 1823. Tapi ia berangkat dari Batavia, dan membawa banyak koleksi ilmiah serta buku kedokteran.

Di Dejima, ia mengajar ilmu Barat kepada pelajar Jepang, mengumpulkan tumbuhan dan hewan lokal, serta menyusun buku-buku penting yang memperkenalkan Jepang ke dunia Barat.

Kami sempat melihat replika ruang praktik dan meja tulisnya. Saya membayangkan bagaimana dokter ini menulis catatan, merawat pasien, dan menyusun risalah ilmiah---semua dimulai dari keputusan berlayar dari Batavia.

Belajar Sejarah Tanpa Harus Duduk Diam

Kami berjalan pelan-pelan menyusuri area Dejima. Jalan setapaknya dibuat dari batu dan kayu, suasananya tenang. Ada pengunjung lain, tapi tidak terlalu ramai. Setiap sudut seolah punya cerita---dan papan informasinya sangat membantu.

Saya suka cara mereka menyusun informasi: tidak panjang, tidak menggurui, dan ditulis dalam beberapa bahasa. Kita bisa belajar sambil tetap menikmati suasana.
Kami juga masuk ke satu bangunan yang dulunya adalah gudang. Di dalamnya dipajang berbagai barang dagangan VOC seperti botol kaca, kain sutra, logam mulia, dan replika uang. 

Semuanya memberi gambaran bahwa perdagangan zaman itu adalah soal kesabaran, strategi, dan kontrol, bukan hanya jual beli cepat seperti zaman sekarang.

Taiwan dan Asia Timur yang Terhubung

Di salah satu bagian pameran, kami membaca tentang Taiwan (Formosa) yang pernah menjadi bagian dari rute VOC. Taiwan dikuasai Belanda antara 1624--1662 dan menjadi pos penting sebelum akhirnya jatuh ke tangan Koxinga dari Tiongkok.

Perannya dalam jaringan dagang bukan sekadar titik persinggahan, tapi juga logistik dan tempat perlindungan saat cuaca buruk. Jalur VOC tidak hanya lurus Amsterdam -- Batavia -- Dejima. Mereka membentuk jalur kompleks yang saling menopang di Asia Timur.

Saya merasa cerita-cerita seperti ini sangat jarang muncul di buku sejarah di Indonesia. Seolah kita hanya belajar masa penjajahan sebagai cerita derita, padahal ada banyak cerita dan kisah lain yang lebih luas dan global.

Di Taman Kecil, Menutup Hari dengan Refleksi

Setelah berjalan hampir dua jam, kami duduk sebentar di taman kecil di sisi belakang area Dejima. Angin sepoi-sepoi dari laut membawa bau kayu tua dan debu halus. Kami berbincang santai, sambil melihat anak-anak Jepang kecil yang bermain sambil sesekali menatap bangunan kuno.

Saya merasa tenang dan sekaligus tersentuh. Bahwa dari sebuah pulau kecil di Jepang ini, kita bisa menelusuri kisah lintas samudra, tentang dunia yang dulu saling terhubung sebelum era internet dan globalisasi.

Dejima adalah simbol keterbukaan yang dibatasi, hubungan yang dijaga, dan perdagangan yang dikelola dengan cermat. Ia bukan tempat besar, tapi isinya penuh makna. Dan lebih dari itu, ia mengingatkan saya bahwa kota seperti Jakarta---yang hari ini penuh hiruk pikuk---dulu adalah pusat dunia.

Penutup: Jalan-Jalan yang Membuka Mata

Kami melangkah keluar dari Dejima lewat jembatan kecil yang sama. Tapi pikiran kami tak lagi sama. Ada kesadaran baru yang tumbuh---bahwa sejarah bisa dinikmati seperti jalan-jalan sore, asal diceritakan dengan cara yang benar.

Dejima bukan hanya kisah Jepang. Ia juga kisah Batavia, Taiwan, dan seluruh Asia yang pernah terhubung lewat laut. Ia adalah potongan mozaik dari masa lalu, yang membentuk siapa kita hari ini. Dan kami bersyukur, hari itu, kami tidak hanya berwisata, tetapi juga sejenak menjenguk masa lampau.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun