Salah satu tokoh penting yang saya pelajari dari papan informasi dan ruang pamer adalah Dr. Philipp Franz von Siebold. Ia adalah dokter asal Jerman yang bekerja untuk VOC dan dikirim ke Dejima tahun 1823. Tapi ia berangkat dari Batavia, dan membawa banyak koleksi ilmiah serta buku kedokteran.
Di Dejima, ia mengajar ilmu Barat kepada pelajar Jepang, mengumpulkan tumbuhan dan hewan lokal, serta menyusun buku-buku penting yang memperkenalkan Jepang ke dunia Barat.
Kami sempat melihat replika ruang praktik dan meja tulisnya. Saya membayangkan bagaimana dokter ini menulis catatan, merawat pasien, dan menyusun risalah ilmiah---semua dimulai dari keputusan berlayar dari Batavia.
Belajar Sejarah Tanpa Harus Duduk Diam
Kami berjalan pelan-pelan menyusuri area Dejima. Jalan setapaknya dibuat dari batu dan kayu, suasananya tenang. Ada pengunjung lain, tapi tidak terlalu ramai. Setiap sudut seolah punya cerita---dan papan informasinya sangat membantu.
Saya suka cara mereka menyusun informasi: tidak panjang, tidak menggurui, dan ditulis dalam beberapa bahasa. Kita bisa belajar sambil tetap menikmati suasana.
Kami juga masuk ke satu bangunan yang dulunya adalah gudang. Di dalamnya dipajang berbagai barang dagangan VOC seperti botol kaca, kain sutra, logam mulia, dan replika uang.
Semuanya memberi gambaran bahwa perdagangan zaman itu adalah soal kesabaran, strategi, dan kontrol, bukan hanya jual beli cepat seperti zaman sekarang.
Taiwan dan Asia Timur yang Terhubung
Di salah satu bagian pameran, kami membaca tentang Taiwan (Formosa) yang pernah menjadi bagian dari rute VOC. Taiwan dikuasai Belanda antara 1624--1662 dan menjadi pos penting sebelum akhirnya jatuh ke tangan Koxinga dari Tiongkok.
Perannya dalam jaringan dagang bukan sekadar titik persinggahan, tapi juga logistik dan tempat perlindungan saat cuaca buruk. Jalur VOC tidak hanya lurus Amsterdam -- Batavia -- Dejima. Mereka membentuk jalur kompleks yang saling menopang di Asia Timur.
Saya merasa cerita-cerita seperti ini sangat jarang muncul di buku sejarah di Indonesia. Seolah kita hanya belajar masa penjajahan sebagai cerita derita, padahal ada banyak cerita dan kisah lain yang lebih luas dan global.