Saya tiba di Stasiun Pondok Rajeg saat langit masih menyimpan hangat mentari. Cahayanya menggantung di sela-sela awan, seperti enggan pergi. Keluar gerbong kereta, dari ujung peron, mata saya sudah langsung menangkapnya---sebuah petak tanah luas yang menampakkan dirinya diam-diam di antara pepohonan: Teras Rajeg.
Sebenarnya, saya bisa saja berjalan kaki, jaraknya tak jauh. Tapi teman saya Dendi sudah menunggu di bawah pohon dengan motornya. Kami melaju perlahan melalui jalan kecil yang hanya bisa dilalui satu mobil, diapit warung kopi dan tempat pangkas rambut.
Lalu, sebuah lorong hijau terbuka. Saya kira itu hanya lahan biasa---sampai kami benar-benar masuk dan segalanya berubah.
Teras Rajeg membuka dirinya dengan tenang, seperti taman rahasia yang sabar menunggu ditemukan. Di balik pintu sempit itu, dunia membentang. Luasnya lebih dari 5000 meter persegi, tapi bukan luas yang membuat saya terdiam. Ini tentang suasana yang perlahan memeluk dan menaungi dengan ramah.
Tempat parkirnya tak main-main, bisa menampung puluhan mobil. Bang Tino, si pemilik, bilang jika sedang ramai, lahan di sebelah dekat stasiun bisa dipinjam, dan parkiran pun bisa menampung lebih dari 150 kendaraan.
"Tapi tetap rapi," katanya. "Biar banyak, yang penting tertib."
Saya tertawa kecil. Dendi mengangguk.
Kami menyusuri jalur setapak menuju tengah taman. Pohon-pohon tinggi berdiri seperti penjaga tua, memisahkan Teras Rajeg dari lahan sebelah, menciptakan dinding hijau yang teduh dan alami. Dari sela dedaunan itu, saya bisa melihat peron Stasiun Pondok Rajeg---menjulang kecil tapi gagah, dengan atap bergelombang yang mencuri cahaya sore.