Leo XIV memiliki modal itu. Ia bukan tokoh keras suara, tapi justru karena kesederhanaannya, ia bisa menjadi penenang badai.
Apakah Ia Akan "Setara"?
Pertanyaan ini sering muncul: akankah Paus baru ini mampu "setara" dengan pendahulunya?
Namun sejarah kepausan mengajarkan: tiap Paus hadir untuk zamannya. Yohanes Paulus II dibutuhkan sebagai figur karismatik global dalam transisi geopolitik.
Benediktus XVI hadir sebagai teolog reflektif yang menjaga ortodoksi. Fransiskus hadir dengan gaya pastoral yang membumi, menantang budaya buang dan merayakan cinta universal.
Leo XIV belum menulis ensiklik, belum merombak struktur, belum tampil di forum internasional. Tapi ia sudah mengirim sinyal: bahwa kedamaian, ketenangan, dan keberanian spiritual adalah prioritasnya. Dan dunia saat ini---baik dalam Gereja maupun di luar---membutuhkannya lebih dari sebelumnya.
Ia tidak perlu menjadi replika dari pendahulunya. Yang dibutuhkan hanyalah menjadi dirinya sendiri: seorang hamba yang setia, seorang gembala yang berjalan bersama umatnya, dan seorang lelaki doa yang tidak takut berjalan dalam terang Kristus.
Menutup Tirai, Membuka Jalan
Ketika tirai balkon Basilika akhirnya ditutup kembali malam itu, jutaan orang di seluruh dunia masih memandang layar dengan takjub dan tenang. Bukan karena gebyar selebrasi, tapi karena kesederhanaan yang memikat. Karena di balik semua kompleksitas zaman, dunia selalu mendambakan satu hal yang sama: damai.
Paus Leo XIV telah menabur benih pertama. Perjalanan masih panjang, jalan salib masih menanti. Tapi ia sudah melangkah dengan hati terbuka dan tangan terulur.
Dan dalam dunia yang penuh ketakutan, mungkin inilah keberanian sejati.