Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Trem Kuning ke Jeronimos: Ziarah Vasco da Gama & Camoes

8 Mei 2025   00:21 Diperbarui: 8 Mei 2025   05:26 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Misterio dos Jernimos : dokpri


Di depan saya, Praca do Comercio bersinar keemasan. Langit sore seperti dituang dari ember madu---lembut, hangat, dan nyaris tak bersuara. Sungai Tagus berkilau di kejauhan, dan suara gelak tawa wisatawan menyatu dengan desir angin laut yang lembut. Seorang pemain biola memainkan nada-nada dari lagu lama, berbahasa Portugis, entah lagu siapa, tapi saya tidak ingin buru-buru tahu. Ini adalah salah satu sore yang ingin saya resapi  pelan-pelan.

Tiba-tiba , trem warna kuning nomor 15 mendekat dan berhenti di halte. Warnanya kontras dengan batu-batu calcada  yang putih abu dan jingga karena cahaya senja. Tanpa banyak berpikir, saya melompat naik. Tidak ada rencana pasti---hanya keinginan untuk melihat biara tua yang sejak lama hanya saya kenal lewat gambar dan buku. Mosteiro dos Jeronimos. Nama itu punya bunyi berat namun lembut, seperti doa yang diucapkan dalam bahasa yang nyaris punah.
Di dalam trem, penumpang tidak terlalu ramai.. Seorang bapak tua membaca koran sambil memegang plastik belanja kecil. Di bangku belakang, pasangan muda tampak membisikkan sesuatu sambil tertawa pelan. 

Naik trem: dokpri 
Naik trem: dokpri 

Saya duduk di dekat jendela, bersandar dan membiarkan getaran lembut dari roda trem membawa saya melintasi lapisan-lapisan waktu. Bangunan kota berganti perlahan---dari fasad  klasik di Baixa hingga blok-blok industri tua di Alcantara, lalu rumah-rumah rendah dengan taman kecil di depan jendela.

Perjalanan ini terasa seperti menjelajah sebuah narasi panjang yang belum saya baca sampai habis. Lisboa sore hari punya cara tersendiri untuk menidurkan kegaduhan dalam kepala.

Perjalanan ke Belem bukan sekadar kunjungan ke situs sejarah. Ia adalah perjalanan ke dalam ruang-ruang batin yang tak selalu sempat dijelajahi di kota-kota lain. Biara agung, taman senyap, menara di tepi air, dan bahkan bangku trem ini---semuanya membentuk satu cerita. Dan cerita itu bukan hanya tentang tempat, tapi tentang saya, tentang kita, yang menyusuri dunia sambil diam-diam mencari kedamaian.

Trem kuning: dokpri
Trem kuning: dokpri

Saat trem mendekati halte Jeronimos, cahaya matahari sudah condong nyaris horizontal. Saya turun, berjalan cepat melewati taman kecil dan air mancur, menuju bangunan yang sejak awal menjadi tujuan.

Dan di hadapan saya, biara itu berdiri dengan gagah dan megah. Mosteiro dos Jeronimos tak hanya megah. Ia anggun, tapi juga berat, seperti menyimpan rahasia yang tidak akan diceritakan pada sembarang orang. Pilar-pilar Manueline menjulang dengan detail rumit seperti untaian doa yang diukir di batu .  Tapi pintunya sudah tertutup. Seorang penjaga yang ramah menjelaskan, "Sudah tutup, senhor. Kembali saja besok pagi."

Saya hanya tersenyum. Tak ada rasa kecewa. Mungkin karena sejak awal saya tidak berharap apa-apa selain bisa melihatnya dari dekat. Saya duduk di bangku taman di depannya, menghadap langsung ke fasad  yang tertimpa cahaya terakhir matahari. Di kejauhan, burung camar melintas rendah.

Saya kemudian berjalan perlahan sepanjang  sisi muka biara ini.
Biara yang bernama Mosteiro dos Jeronimos di Belem, Lisbon---salah satu bangunan paling megah dan simbolik dalam sejarah Portugal. Gaya arsitekturnya Gotik versi Manuelino, sebuah gaya khas Portugal abad ke-16 yang menggabungkan unsur gotik, renaisans, dan simbol-simbol maritim.

Menara: dokpri 
Menara: dokpri 

Gerbang utamanya tinggi dan sangat detail, penuh ukiran yang mengangkat tema pelayaran dan keagamaan. Pilar dan lengkungannya tampak seperti pahatan halus dari batu gading, berdiri kokoh namun nyaris halus seperti renda.

Matahari senja masih malu-malu bersinar di balik awan, tapi langit cukup terang untuk melihat betapa agungnya bangunan putih ini dari dekat.  Mosteiro dos Jeronimos berdiri bagaikan istana batu, penuh ukiran dan puncak-puncak menjulang yang membuat leher terasa ingin terus menengadah.
Pembangunan Mosteiro dos Jeronimos dimulai pada tahun 1501, atas perintah Raja Manuel I. Lokasinya dipilih tidak jauh dari tempat keberangkatan Vasco da Gama saat ia memulai pelayaran legendaris ke India pada tahun 1497. Perjalanan itu membawa kekayaan dan kejayaan besar bagi Portugal, dan sang raja ingin memperingatinya dengan sesuatu yang monumental. Maka dibangunlah biara ini di desa nelayan Belem, tepat di tepi Sungai Tagus. Konon perlu hampir satu abad untuk menyelesaikannya.  Saya jadi ingat akan La Sagrada Fanilia di Barcelona yang bahkan hingga kini belum rampung.

Arsitektur  gotik khas: dokpri 
Arsitektur  gotik khas: dokpri 

Arsitekturnya memukau---gaya Manuelino yang khas dengan ornamen tali kapal, jangkar, dan bunga lotus, mencerminkan semangat penjelajahan Portugal di masa keemasan.
Ada sesuatu dari fasad bangunan ini yang membuat diri ini ingin terus mengamati dari dekat sambil berjalan santai dan memberi waktu pada diri sendiri untuk memaknai keindahan yang tak buru-buru. Angin meniup dedaunan kecil di taman, dan sesekali terdengar suara anak-anak  berlarian.

Momen itu membuat saya sadar: kadang perjalanan tak butuh pemandu. Cukup langkah kaki dan langit luas yang berubah-ubah warnanya.
Sambil berjalan, Saya membayangkan suasana di  dalamnya---lorong-lorong batu yang hening, kapel dengan atap tinggi melengkung, dan tentu saja makam raja-raja Portugal serta tokoh-tokoh besar yang sejak lama saya kenal dari sejarah: Vasco da Gama dan Lus de Cames. Keduanya dimakamkan kembali  di dalam kompleks biara ini para paruh kedua abad 19.

Nama-nama itu dulu terasa jauh, abstrak, seperti baris catatan ujian sejarah. Tapi dalam beberapa tahun terakhir, mereka justru hadir lebih dekat dalam perjalanan saya.
Vasco da Gama, misalnya, pertama kali membuat saya tercenung bukan karena pelayarannya ke India, tapi karena patungnya yang saya temui secara tidak sengaja di Beograd. Waktu itu saya sedang menyusuri taman Kalemegdan, dan di tengah patung-patung nasional Serbia, tiba-tiba ada sosok berjubah panjang, menghadap ke barat, tangannya menunjuk cakrawala. Nama di bawahnya: Vasco da Gama. Mengapa ada di sana? Saya tidak tahu pasti, tapi mungkin dunia lebih saling terhubung dari yang saya kira.

Sementara Lus de Cames---sang penyair yang menulis Os Lusadas, mahakarya tentang pelayaran Portugis---pertama kali saya temui bukan di Portugal, tapi di Makau. Tepatnya di Jardim Luis de Cames, sebuah taman kecil yang tenang, dengan patung sang penyair di tengah-tengah, dikelilingi pohon kamboja. Ada puisi-puisi yang terukir di dinding batu, sebagian saya coba baca walau tak semua saya mengerti. Tapi saya ingat satu frasa yang tertinggal lama di kepala: "mudam-se os tempos, mudam-se as vontades"---zaman berganti, keinginan pun berubah.


Saya merenung di depan biara Jeronimos, tempat kedua tokoh ini beristirahat, dan tiba-tiba merasa tidak terlalu jauh dari sejarah. Rasanya seperti menonton pertunjukan lama yang baru sekarang saya pahami artinya.
Saya membayangkan: lima abad lalu, para pelaut datang ke biara ini untuk berdoa sebelum berlayar menuju dunia yang belum mereka kenal---India, Afrika, mungkin bahkan Brasil. Di sinilah Vasco da Gama memulai perjalanannya. Dan dari pajak rempah-rempah hasil ekspedisinya, batu demi batu biara ini dibangun.

Trem kuning: dokpri 
Trem kuning: dokpri 

Tapi senjan sekarang ini tak ada kapal. Hanya cahaya matahari terakhir yang menyentuh ujung menara. Dan dari tempat saya berdiri, bangunan itu tampak seperti puisi pahatan---hening, kokoh, dan bijak.
Saya berjalan perlahan menyusuri pagar luar, lalu menyebrang ke arah halte trem. Hari belum gelap, dan udara masih menyimpan hangat matahari. Maka saya putuskan untuk naik trem satu kali lagi, menuju Menara Belm.
Trem kuning 15 datang, dan saya naik dengan tenang. Perjalanan singkat, hanya beberapa menit, tapi cukup untuk mengalihkan suasana dari renungan menjadi rasa ingin tahu lagi. Menara Belem berdiri di tepi sungai, seolah menatap laut lepas dan menunggu kapal yang tak kunjung kembali. Di sinilah dulu kapal-kapal ekspedisi Portugis berangkat---penuh semangat, penuh doa. Barangkali biara dan menara ini seperti dua tangan: satu berdoa, satu menunjuk arah.
Saya duduk di tangga batu di sisi menara, melihat matahari benar-benar turun ke balik cakrawala. Air sungai memantulkan cahaya jingga yang perlahan berubah biru keunguan. Di belakang saya, beberapa anak muda bermain gitar. Seorang ibu mendorong stroller sambil menelpon, dan turis-turis mulai pulang. Tapi saya tinggal sebentar lagi, mencoba menyerap apa pun yang masih bisa diserap.
Mungkin ini yang disebut kebetulan yang sempurna. Saya tidak masuk ke dalam Mosteiro dos Jeronimos, tidak menyentuh dinding-dinding batunya, tidak berdiri di depan makam para tokoh itu. Tapi saya merasa lebih dekat dengan mereka. Karena sore ini, dengan trem yang gemetar, cahaya yang pelan, dan sejarah yang datang melalui celah waktu, saya merasa sudah masuk ke dalam. Bukan ke dalam bangunan, tapi ke dalam kisahnya.
Dan kisah ini, seperti trem kuning yang terus bergerak di jalurnya, akan saya ingat sebagai perjalanan yang tak tuntas---tapi justru karena itu, terasa lengkap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun